Prolog

15 3 4
                                    

Hari ini adalah hari Anniversary ke satu tahun hubungan aku dan Affan. Namun, di hari spesial ini terasa begitu canggung. Karena aku yang menciptakan keadaan itu.

Alunan musik cafe mengisi keheningan yang aku ciptakan. Sementara kekasihku yang tengah duduk di hadapanku hanya diam menunggu aku bicara.

Aku diam. Lama sangat lama. Mencari kalimat yang pas untuk aku katakan.

"Sebenarnya kamu mau bicara apa? Kenapa diam terus?" tanya Affan. Yang tak sabar menungguku bicara.

Dan lagi, aku hanya diam. Meremas batang buket bunga mawar yang Affan berikan padaku beberapa waktu lalu.

"Ayolah, aku nggak suka suasana canggung ini." Affan menggenggam tangan kiriku yang berada di atas meja, "kalau kamu punya masalah kamu bisa cerita, aku pasti dengerin kok." Ujar Affan lembut, penuh perhatian.

Karena ucapan itu membuatku tak sanggup mengatakan kalimat yang telah kurangkai.

Aku menarik napas dalam. Mencoba membuka mulutku. Walau menyakitkan aku harus mengatakan ini.

"Aku ingin putus!" ucapku langsung pada intinya.

Aku bisa lihat wajah Affan yang bingung tak percaya. Segera Affan melepaskan genggamnya dari tanganku.

"Kamu ngomong apa sih?" kata Affan meyakinkan. Berharap yang aku katakan tak benar.

"Aku hanya ingin putus!" beritahuku lagi. Menggigit keras bibirku, mengutuk diri karena kata yang aku ucapkan.

Kulihat Affan mulai frustasi. Ia tak ingin percaya dengan kalimat yang aku ucapkan.

Affan tertawa kecil.

"Sumpah bercandaan kamu nggak lucu," ujarnya tak ingin menganggap serius ucapanku.

"Aku serius,"

Affan diam. Wajah kecewa begitu tampak. Matanya mulai berkaca-kaca. Aku tahu rasanya pasti sakit mendengar kalimat itu dari seseorang yang ia cintai.

"Kalau aku nggak mau?"

"Aku nggak peduli."

Seperti ada petir yang menyambar hatiku. Rasanya rapuh. Apa semua yang kulakukan ini benar? Ataukah sebuah kesalahan. Tapi, aku hanya ingin melihatnya bernafas.

Aku bangun dari duduku. Masih menggenggam erat sebuket bunga mawar pemberian Affan.

"Aku pergi." Ucapku lemah. Kemudian berlalu dari hadapan Affan.

Aku bisa merasakan Affan mengejarku. Aku mempercepat langkahku supaya lekas menghindar jauh dari Affan. Tapi, Affan berhasil mengejarku, ia mencekal tanganku agar tak pergi darinya.

"Kenapa kamu lakukan ini?" tanya Affan. Setelah berada di hadapanku.

"Harus berapa kali aku bilang, aku hanya ingin putus!" Aku berusaha melepaskan cekalan tangan Affan, namun sangat sulit, Affan sangat erat menggenggam tanganku.

"Kamu pasti punya alasan kenapa berkata begitu. Bilang padaku!" ujar Affan.

Aku hanya diam. Aku tidak ingin menjawab pertanyaan Affan. Aku terus berusaha melepaskan cekalan Affan pada tanganku. Tapi, Affan menggenggamnya sangat kuat, membuat pergelangan tanganku perih.

"Apa kamu begitu karena perilaku aku berubah. Atau kamu tidak suka cara bicaraku, tidak suka cara berpakaianku, tidak suka melihatku main game, tidak suka melihatku main basket, dan lainnya dari diriku. Jika kamu tidak suka aku bisa meninggalkannya." Kata Affan. Mencari kesalahan dalam dirinya. Berharap bisa memperbaiki kesalahan itu.

"Aku tidak suka melihatmu bernafas!"

Affan diam. Genggaman tangannya sudah tak kuat lagi. Membuat aku bisa melepaskan genggaman itu.

Setelah mengatakan kalimat jahat itu, aku pergi. Pergi sejauh mungkin dari hadapan Affan. Dan aku dapat merasakan Affan tak lagi mengejarku. Tadi yang kulihat, Affan hanya diam mematung menatap nanar kepergianku.

Setelah aku benar-benar jauh dari Affan, aku memperlambat langkahku. Berjalan santai menikmati dinginnya malam yang menusuk tulangku.

Pikiranku terus memikirkan Affan. Apa dengan caraku meninggalkannya semuanya akan baik-baik saja? Ataukah sebaliknya?

Aku menghentikan langkahku. Berpikir keras dengan semua hal yang kulakukan. Kenapa aku harus percaya pada mimpi serta ramalan bodoh itu. Jika memang saat kami bersama dan di antara kami ada yang mati, kami akan mati bersama. Daripada menanggung sendiri rasa sakit seumur hidupku. Tentunya itu sangat menyakitkan.

Aku membalikkan tubuhku. Berlari kembali ke tempat aku meninggalkan Affan. Ternyata aku tak sanggup pergi dari sisinya.

Aku berlari. Terus berlari. Kenapa rasanya jalan ini semakin panjang. Aku hanya ingin kembali pada Affan. Aku ingin bilang, kalau aku tak sanggup pergi dari sisinya.

Aku berlari melewati zebra cross. Tapi, saat di tengah jalan zebra cross itu, sebuah mobil tiba-tiba menghantam tubuhku. Aku pun terpental karena tubrukan itu. Bunga mawar merah yang kugenggam lepas dari tanganku dan kelopaknya berserakan di jalan. Bersamaan dengan itu tubuhku yang habis menghantam mobil kini jatuh menghantam aspal.

Bunga mawar yang lepas dari genggamanku. Jatuh tepat di sampingku terbaring. Perlahan tangan yang terasa remuk ini mengambil bunga mawar yang kelopaknya berserakan. Setelah berhasil mengambil bunga itu, kugenggam kuat tak mau kehilangan.

Aku ingin kembali. Aku ingin kembali padanya. Bangun dari sini, berlari menghampirinya, memeluknya, dan berkata; aku mencintaimu. Aku tak mau kehilanganmu. Maka dari itu aku pergi. Tapi, sekarang aku hanya ingin bersamamu. Aku tak sanggup pisah darimu, Affan.

Kini semua keinginan itu hanya menjadi anganku. Sebab, sudah sekuat tenaga aku mencoba bangun tapi tidak bisa. Tubuhku terasa remuk. Tak mampu menopang bebannya.

Cairan merah terus keluar dari kepalaku. Rasa sakitnya memaksaku menutup mata. Aku berusaha menolaknya. Aku hanya ingin kembali pada Affan. Aku ingin mengatakan bahwa aku mencintainya. Tapi, waktu yang seakan berhenti ini tak mengizinkannya.

Perlahan, mata yang kupaksa terbuka itu mulai terpejam. Suara orang-orang yang ramai mengkhawatirkanku mulai senyap.

"Aku ingin tetap bersamamu, Affan. Karena aku mencintaimu." Gumamku sebelum semuanya benar-benar gelap.

*****

To Be Continue

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 07, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Because, I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang