Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan, manajerku marah besar karna penjualan kami menurun drastis, semua pegawai dituntut bekerja lebih keras lagi dan lagi. Untuk sedikit menghilangkan lelahku, saat jam pulang kantor nanti, aku ingin mampir sebentar ke kedai kopi tak jauh dari kantor. Sudah lama memang kedai itu berdiri namun belum sekalipun aku menginjakkan kaki disana.
Kedai terlihat ramai, aku sempat mematung sejenak untuk memastikan yakinkah aku untuk menyegarkan sejenak pikiranku disini. Satu detik setelah aku memutuskan pilihan, aku melangkahkan kakiku menuju kedai tersebut, satu langkah berikutnya langkahku terhenti bersamaan dengan melintasnya lelaki pengendara Vespa memasuki parkiran kedai tersbut. Ia mengangguk, mungkin untuk perilakunya yang menghentikan langkahku, aku pun tersenyum membalas anggukannya.
Satu langkah memasuki pintu masuk kedai tersebut, aku mengambil napas panjang...
Kedai ini sangat menenangkan walopun ramai pengunjung, ku rasa aku akan sering kesini.
Saat melihat menu yang terpampang di atas counter, ternyata pilihan menu kopi disini bisa terbilang lengkap. Aku suka. Ugh. Sudah kali keberapa aku memuji tempat ini sebelum kurasakan racikan kopi baristanya. Bisa dibilang aku telah jatuh hati dengan kedai senyaman ini.
Senyum merekah di wajahku, ku pejamkan sejenak mataku menikmati nyamannya kedai ini, seberapa hebat pemilik kedai ini sehingga bisa membuat kedai senyaman ini, pemiliknya senyaman kedainya kah? Satu pertanyaan asal yang tiba tiba meluap dikepala. Sedang menikmati tempat ini, tiba - tiba seseorang menepuk bahuku. Aku tersadar. Ternyata aku sudah tepat berada di depan counter, aku menoleh kebelakang sejenak untuk meminta maaf atas sikapku yang membuat antrian tertunda.
Saat ku menoleh hanya ada satu lelaki berdiri tepat di belakangku, yang aku rasa sama dengan pengendara Vespa itu.
"maaf ya mas" maafku, kali ini dia yang hanya tersenyum membalas permintaan maafku.
Lelaki ini mulai menanyakan pesananku. Apa urusanya Ia menanyakan pesananku? Apa dia sedang merayuku atas perlakuannya tadi? Apa Ia tidak paham balasan senyumku yang artinya telah memaafkan perilakunya. Sesungguhnya aku malas meladeni lelaki seperti dia yang terlihat seperti anak kuliahan yang memanfaatkan Wifi kedai untuk mengerjakan tugasnya.
Aku segera memesan kopi favoritku. Macchiato. Aku mengedarkan pandangan untuk mencari tempat yang paling nyaman, dan aku menemukannya. Aku duduk di pojok samping jendela besar yang menyajikan pemandangan jalan.
Pesananku datang, ternyata yang mengantar Macchiato ku adalah lelaki Vespa itu. Aku tersenyum, karena kini ku tahu dia berada disini bukan untuk mengerjakan tugas kuliahnya, melainkan bekerja. Namun ada yang berbeda darinya dengan pekerja lain. Seragamnya.
Dia tidak memakai seragam seperti yang lainnya. Ia hanya mengenakan kaos hitam yang dibalut dengan jaket serta celana jeans dan sepatu old schoolnya, benar benar seperti anak kuliahan.
Setelah menaruh Macchiatoku di atas meja. Ia memperkenalkan dirinya
"Kenalin gue Gio"
"Karina.."
"Maaf untuk kejadian di depan"
"Gapapa, santai aja... kok engga pake seragam?"
"Ohh... engga, gue yang punya kedai ini"
Aku terdiam sejenak.
"Lo lebih terlihat seperti anak kuliahan yang mau nugas sih, dibanding orang yang punya kedai ini, hahaha"
aku tertawa, dia juga.
"Boleh duduk?"
"Silahkan.."
Kami terlibat obrolan panjang, cerita seputar pekerjaannya yang ternyata perusahaan tempat Ia bekerja merupakan salah satu klien perusahaanku, hahaha, dunia terasa sempit. Ku akui Gio bukan orang yang membosankan, sama seperti kedainya.
Kedua kalinya Macchiato yang ku pesan di kedai Gio, masih dengan rasa yang sama, sangat jauh dari kata kecewa dekat dengan kata nikmat. Kedua kalinya pula aku bertemu Gio dan terlibat obrolan menarik. Kali ini aku melihat sisi yang lain dari Gio. Dia sosok yang manis. Bukan wajahnya tapi sikapnya. Mungkin aku menyukainya seperti aku menyukai kedainya, Aku nyaman bersama dengannya.
Ketiga, keempat, kelima, keenam, dan entah sudah berapa puluh kali aku berkunjung ke kedai Gio dan mengobrol dengannya, kami sudah menjadi teman baik, kami juga sudah bertukar nomor telepon sejak kali ke-enam aku berkunjung ke kedainya, Aku mengetahui sisi lain lagi dari Gio, Ia sangat jail dan sesekali bisa dibilang dewasa, walaupun jika kalian melihat tingkahnya dan penampilannya, dewasa merupakan hal yang sangat jauh terlihat, tapi aku akui, Ia pintar menempatkan diri, aku merasa kami semakin dekat, aku telah jatuh hati.
Ini kali ke-sembilan puluh aku berkunjung ke kedai Gio. Namun seharian ini Gio tidak ada kabar sama sekali. Bahkan untuk mengirim kan kata- kata romantis khas anak Sekolah Menengah pun tidak. Biasanya pagiku terhibur oleh kata romantis Khas anak Sekolah Menengah itu. Hahaha.
Macchiato ku sudah setangah cangkir ku minum, namun Gio belum menampakkan batang hidungnya. Aku menunggu...
Hingga tetesan Macchiato ku yang terakhir, Gio belum menampakkan dirinya, Aku pamit. Tidak lupa menitipkan pesan kepada DImas, rekan seperbisnisan kedai Gio, setelahnya..
Aku Pulang.
Kali ke-seratus. Gio masih belum ada kabar. Kemana Gio? Satu pertanyaan yang sampai saat ini belum terpecahkan olehku. Mungkin ini adalah Macchiatoku yang terhambar. Walopun jika dirasakan rasanya tidak berubah, hanya saja ketiadaan pemilik kedainya yang membuat Macchiato ini terasa hambar.
Dimas pun bungkam saat ku tanya rekannya berada dimana atau setidaknya bagaimana keadannya?
Pertanyaan lain timbul, Apa salahku?
Tahukah kalian di bagian mana kesalahanku?
Jika saja aku memiliki waktu sebanyak secangkir kopi bersama dengan GIo untuk yang terakhir kali, mungkin itu adalah kopi paling berharga yang aku minum.
Gio, apa salahku? Bagaimana keadaanmu?
Mengapa kau pergi disaat dirimu telah memenuhi secangkir kopiku?
-TAMAT-
YOU ARE READING
Secangkir Kopiku
Short StorySebuah cerita pendek tentang aku yang jatuh hati dan kehilangan secangkir kopi