KARMA akhirnya yang menjawab. Setelah sekian lama menghujani gadis itu dengan segala caci maki, kata-kata yang penuh benci, semuanya kini menerima akibatnya.
Layka duduk termenung, menatap perapian yang membakar hangus tubuh ibunya seraya tertunduk. "Pantaskah aku berdoa?" ujarnya. Tapi dia tak bisa menjawab. Sebab apa yang baru saja dilakukannya membuatnya merasa seperti iblis.
"Aku takkan melakukannya kalau saja mereka tak begitu jahat," ujar Layka. Dan air matanya pun menetes. Cuma setetes. Itu pun kembali menguap oleh panas api yang begitu kuat.
"Aku cuma berharap satu pertolongan mereka," keluh Layka. Matanya lembut menatap api, seolah ia adalah sahabat yang telah lama meninggalkannya. Seolah api itu mampu menjawab setiap pertanyaannya. "Aku cuma ingin mereka mengantarkanmu, ibu, menguburkanmu hingga sampai ke Rumah Dewi Bumi, selayaknya seorang ibu yang baik."
Pipinya kering, seperti gurun di musim panas.
"Cuma itu saja. Aku tak minta yang lainnya. Aku takkan mengingat semua yang telah mereka perbuat padaku. Pada kita. Aku bahkan rela mengabaikan fakta bahwa merekalah yang telah membunuhmu. Mereka, atas perlakuan mereka padamu, padaku, hingga tanganku tak punya kendali lagi selain memberimu ketenangan dengan cara yang paling memungkinkan."
Derik kayu yang terus termakan api tak sekali pun berhenti, seperti anggukan seorang manusia yang terus mendengarkan. Sementara itu, tubuh sang ibu perlahan-lahan mulai menjelma menjadi abu.
"Dan . . . ini . . ." Layka mengangkat tangan kirinya. Tangan manusia yang dipenuhi sisik-sisik berlendir serta bulu-bulu seperti yang ada pada tubuh anak burung, menjijikan dan mengerikan. Bau tubuh yang sedang terpanggang menyatu dengan aroma tak sedap peluhnya, membuat ruangan itu seperti punya hukum sendiri, berbeda dengan dunia di luarnya, dua semesta yang saling bertolak belakang. Lalu percikan api muncul dan tangannya pun terbakar.
"Aku tak menyangka, kutukanku ternyata tak punya batas."
"Ibu, percayakah ibu dengan semua ini? Aku, perempuan menjijikan ini, monster yang ditakuti tetangga-tetangganya ini, kini telah menjelma menjadi makhluk yang benar-benar pantas untuk ditakuti. Kutukan ini berhasil membakar desa dan aku tak tahu apakah ini baik atau buruk."
Layka terlelap hingga satu malam berlalu dan malam berikutnya kembali datang. Ketika dia terbangun, api telah padam dan tubuh ibunya sudah sepenuhnya menjadi abu. Tangannya kini sibuk mengumpulkan abu-abu itu menjadi sebuah bukit kecil, lalu dimasukkannya ke dalam sebuah kendi berukuran segenggam. Ditaruhnya di tengah-tengah perapian lalu melangkah ke jendela untuk melihat sebuah desa yang baru saja menemui kiamatnya.
Rumah-rumah yang awalnya berdiri megah, rapi dan indah dalam keteraturan, kini hanyalah papan-papan yang terpaku dengan bekas-bekas lidah api di setiap sisinya. Tak ada lagi atap yang memayungi setiap ruangan. Tak ada lagi daun-daun indah yang bergelantungan di jendela-jendela. Dan, tak ada lagi manusia-manusia yang mampu membuat benda-benda mati itu terasa hidup. Semuanya telah berganti.
Layka menelan ludah. Ia kini menjadi satu-satunya penghuni di desa yang baru saja termakan api. Dia baru saja menciptakan sebuah kiamat.
***
Amukan seorang perempuan terkutuk benar-benar membuat semua orang takut. Tak ada satu pun yang bisa melupakannya dalam waktu dekat itu. Bagaimana matanya yang keji menatap setiap manusia. Bagaimana kakinya yang tegap berdiri di bawah hujan yang deras. Bagaimana tubuhnya terselimut oleh kibaran api meski hujan mengguyurnya. Semua itu adalah mimpi buruk yang menjadi nyata. Dan karena itu, tak ada lagi alasan bagi mereka, penduduk yang tak tahu apa-apa itu, untuk tetap tinggal di sana. Dengan gerobak-gerobak yang terselamatkan dari jilatan api, dengan peliharaan-peliharaan yang sama-sama diselimuti ketakutan, mereka pergi meninggalkan harta benda mereka.
YOU ARE READING
Aversi Sintas
Adventure"Cinta telah membunuhmu, Ibu," ujar Layka, menatap perempuan yang tengah terbaring tak berdaya di depannya, di atas kasur tua yang terlihat keabu-abuan di ruangan yang terselimut kegelapan. Aroma pengap bercampur amis darah menjajah ruangan itu, men...