"Risa, kamu dipanggil buk Hanum.."
"Oh, oke. Makasih ya, Nit.."
"Risa ada nggak?" Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu kelas 2-2.
"Nggak. Dia ke TU, dipanggil buk Hanum," jawab seorang siswi.
"Ok, makasih ya.."
Risa menerima baju pemberian buk Hanum. "Dicoba dulu, Ris. Mana tau nggak pas."
"Baik, buk." Risa beranjak menuju ke toilet. Di jalan menuju toilet langkah Risa terhenti. Perhatiannya tertuju ke lapangan basket yang merupakan lapangan yang terletak di antara sekolahnya dan sekolah sebelah. Lapangan itu bisa dibilang lapangan persahabatan. Biasanya lapangan itu digunakan oleh anak sekolah sebelah dan sekolah Risa untuk bertanding atau sekedar sparing.
Mata Risa menyipit, menangkap satu sosok yang rasanya tidak asing. "Itu kayaknya bocah gaje kemaren?"
"Javier!!"
Javier menerima umpan bola dan menembak ke ring. Masuk. Risa mengendikkan bahu cuek, lalu melanjutkan langkahnya.
***
"Ris, besok ngerjain tugas Kimia di mana?" tanya Sheila.
"Hmm, di mana ya?"
"Apa nih, kenapa?" Tasya nimbrung.
"Ngerjain tugas Kimia, besok. Bagusnya di mana?"
"Oh. Hm, di kafe yang dekat bank itu aja gimana?" Tawar Tasya.
"Oh, oke. Boleh deh. Gimana, Ris?"
Risa tampak berpikir. Detik berikutnya ia mengangguk. "Oke deh."
"Oke. Sampai ketemu besok ya. Jam 1 ya.."
"Sip."
"Kalau gitu aku duluan ya."
"Aku juga. Kamu, Ris?"
"Duluan, deh. Aku mau ke TU dulu."
"Oke. Bye.." Tasya dan Sheila melambaikan tangan. Risa membereskan barang lalu buru-buru ke TU.
***
"Hey, nyari siapa?"
Risa kaget. "Eh, hai. Nyari buk Hanum."
"Buk Hanum? Kayaknya udah pulang barusan. Ngapain nyari buk Hanum?"
"Oh, itu, baju olahraganya kegedean, jadi mau ditukar."
"Oh, tapi buk Hanum udah balik. Emang besok ada olahraga?"
Risa menggeleng. "Nggak sih."
"Ya udah, besok aja ganti."
Risa menimbang, lalu akhirnya mengangguk setuju. Ia memasukkan kembali baju olahraga itu ke dalam tasnya.
"Hmm, maaf, tapi kamu.."
"Liam.."
"Oh, aku Risa."
Anak laki-laki itu tersenyum. "Tau kok."
Kening Risa mengerut, bingung. Risa dan Liam meninggalkan TU, melangkah menuju ke gerbang sekolah.
Sebenarnya Risa kepo bagaimana Liam yang notaben bukan anak kelasnya bisa tau namanya. Pasalnya dia baru pindah 2 hari. Rasanya ia tidak secantik itu hingga satu sekolah harus tau namanya. Tapi karena malas, Risa akhirnya tak bertanya. Memilih diam.
"Tadi aku ke kelas kamu," Liam memulai pembicaraan.
"Ke kelas aku? Ngapain?"
Liam menoleh, tersenyum. "Hmm, nyari kamu."
Kening Risa semakin mengerut. "Nyari aku? Untuk?"
Mereka sampai di gerbang. "Pengen kenalan. Mau nyari kamu ke TU malah dipanggil buat main basket."
Risa melongo. Terkejut dan juga tak menyangka. Dunia terasa aneh baginya saat ada anak laki-laki yang terus terang seperti itu. Sebenarnya tidak aneh, tapi tetap saja Risa terkejud.
"Kayaknya kamu bingung ya?" tanya Liam. Ia kemudian malah tertawa. Liam menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ya walaupun kamu ngerasa aneh sama omongan aku, tapi aku serius loh."
Risa masih belum mengatakan apa-apa. Sebuah mobil berhenti tak jauh dari mereka, mengklakson. Risa tersadar.
"Jemputan kamu? Kalau gitu hati-hati ya. Oh iya, semoga kita bisa jadi dekat ya, Risa."
Risa hanya bisa tersenyum kikuk.
"Sampai ketemu besok.." Liam melambaikan tangan disertai sebuah senyuman manis di bibir.
***
"Siapa, Ris?" tanya Ayah.
"Pacar tuh.." goda Riana.
Risa menutup pintu mobil. "Ih bukan. Cuma temen kok, Yah."
"Temen apa temen?" Riana makin menggoda adiknya itu.
"Ih kak Ria apaan sih.."
Riana terkekeh. Selalu berhasil menggoda adiknya itu.
Ayah hanya tersenyum. Mobil melaju meninggalkan SMA baru Risa.
🌿

KAMU SEDANG MEMBACA
Loving The Pain : Prelude
Teen Fiction"Hey, kamu Risa, ya? Anak baru sekolah sebelah.." Risa yang tengah kesal karena sepatunya kena becek menoleh. "Kenapa tanya-tanya?" Ucap gadis itu dengan nada ketus. Bukannya takut, anak laki-laki dengan seragam yang sudah tak tertata rapi itu mala...