Eren meniup telapak tangan. Asap suhu rendah berhembus. Dingin menyergap kulit.
Lalu lalang ramai. Kereta listrik menurunkan penumpang setiap beberapa jam sekali. Kopi susu tinggal separuh. Mendingin diserap oleh suhu rendah musim dingin. Agak membikin ngilu.
Jujur, ia tak suka kopi. Teh atau mungkin susu lebih baik. Tetapi, ia sedang butuh. Begadang memandangi stasiun ramai pinggir rel kereta, menyakiti diri sendiri. Tak bermanfaat, memang. Malah sudah jadi ritual rutin tiap malam Minggu. Memandang pasangan yang berkunjung naik kereta atau hanya mampir kafe sambil sesekali tersenyum.
Jaket tebal adalah ia yang kenakan malam ini. Mengingat suhu di musim dingin di sini begitu rendah, segalanya membeku.
Di sana Kereta berhenti. Menurunkan penumpang, mengantar penumpang tanpa henti. Eren memakan biskuit vanila bungkusan yang ia beli beberapa menit lalu. Penjaga kafe shift malam sudah mengenal. Karena semua penjaga malam adalah lelaki, jadi tak ada yang berani mendekat dengan judul, 'kenalan'.
Kacanya serasa sedikit membeku. Ini juga dampak musim dan suhu. Sebab terasa agak keras dan dingin. Meskipun kaca kafe ini memang keras, atau mungkin semua kaca kafe di dunia memang keras. Yang mana saja. Eren terlalu pengangguran telah berpikir hal demikian.
Ia sedikit mendongak. Ribuan butiran salju mulai berjatuhan. Dipisah oleh kaca bening besar kafe. Langsung menghadap pada stasiun Kereta. Saljunya jatuh lembut mencium tanah, terinjak oleh puluh—ratusan manusia yang berjalan tergesa menghindarinya.
Eren menghela napas. 11.25 dan belum ada niat pulang ke rumah. Lagipula tempat ini begitu nyaman. Hangat, dan penuh kenangan. Kenangan yang ia rajut, bersama yang terkasih.
—0o0—
Eren menunggu.
Stasiun ramai, sulit menemukan orang. Eren bilang padanya ia memakai syal merah. Agak sulit, mengingat banyak yang mengenakan hal serupa di sini. Tapi Eren tahu, kekasihnya pasti bisa menemukannya diantara sekian banyak orang.
Tak jauh dari tempatnya ada sepasang kekasih. Mereka berpelukan, melepas rindu. Wanitanya yang menanyakan di mana tempat toko di stasiun, sebelumnya. Mereka sama-sama menunggu.
Eren menengak-nengok mencari si Kekasih. Dirinya sudah tak sabar. Sebulan tak bertemu serasa setahun. Rindu? Sangat. Mereka berpisah dengan alasan klise—kekasihnya pergi bekerja. Pindahtugas keluar Kota. Oh, jangan diingatkan lagi. Ini memang klise namun sering terjadi di kehidupan sehari-hari.
Ia terkejut. Seseorang memeluknya dengan wangi yang familiar.
Eren tersenyum.
"Malam," sapa si Kekasih. "Bagaimana kabarmu?"
Senyum Eren merekah mendengar suaranya. Perasaannya membucah bahagia. Meledak hingga Eren sedikit berteriak menjawab pertanyaan si Kekasih. "Baik! Kau?"
"Aku sedang tak baik," sebelah alis terangkat naik. Kekasihnya sedang tak sehat? "karena Kau."
Kemudian senyumnya kembali merekah.
"Aku rindu." aku Eren.
"Aku juga."
Butiran saljunya makin lebat. Suhu dingin terus memaksa masuk lewat pori-pori meski telah dibalut pakaian hangat berbahan tebal.
Eren tersenyum hingga pipinya memerah. Entah sebab dingin, atau mungkin perasaan bahagia yang meluap seiring dengan pelukan hangat kekasih yang memeluk semakin erat.
"Hei, Aku mulai membeku di sini." Eren jujur. Meskipun pelukannya begitu lembut dan hangat. Suhu ini tak akan menghangat hanya dengan pelukan. Lagipula ini di tengah stasiun. "Ayo pulang, Levi."
—0o0—
Ranjang berderit bergoyang. Jendela tertutup menghalau udara dingin. Cahaya temaram, sudah cukup untuk penjelasan perbuatan.
Tubuhnya berpeluh. Tangannya mencakar mencari pelampiasan. Hidungnya selalu menghirup aroma si Kekasih, yang juga berpeluh. Bergerak semakin cepat. Membuatnya mendesahkan nama si Kekasih. Si Kekasih dibuatnya bersemangat.
Terus menerus. Kenikmatan ini sungguh menerbangkan pikiran. Tubuhnya bersatu. Jiwanya menyatu. Hatinya masih tetap berlabuh padanya. Yang bergerak dengan lihai, menatapnya dengan penuh kasih sayang.
Eren memekik. Si Kekasih sengaja menabrak titik nikmatnya berkali-kali. Terus begitu, hingga keduanya mencapai puncak, dengan desahan panjang Eren.
"A-ah, Levi,"
Biarlah begini. Tolong biarkan ia menikmati saat indahnya bersama kekasih. Yang ia sayang, yang ia cinta.
Temaram masih tak bisa menyembunyikan wajah tampan dari si Kekasih. Rahang yang keras, dengan bibir tipis sedikit bengkak. Jujur, Eren candu.
Terus ia tatap lekat bibir itu. Yang selalu berbicara dengan kosakata berwarna, penuh umpatan, dan berbunyi itu, namun bermakna ini.
Hingga napas si Kekasih berhembus ke telinganya, membisikan namanya dengan lembut, membuatnya tergelitik, candu. Eren memejamkan mata.
"Eren."
Catatan Cindy:
Halo, trims sudah mampir! XD
Maafkan diriku yang suka publish tapi ga update2.:'(
Tapi jujur aja ya. Ide ini menumpuk tapi selalu males ngelanjutin pas minimal udah 1k kata. Ada rasa seseknya gitu,:') Maklum, masih noob.Uda itu aja la y. Selanjutnya, masih ada Bab yang terus bersambung~
Ps: jangan lupa komen biar saya seneng. Hs hs hshs
KAMU SEDANG MEMBACA
Whiteout
Short StoryMereka terlalu naif. Hingga berpikir waktu tak akan mengundang jenuh. RivaEre shortfic. Mari membaca ditemani secangkir teh!^^