Mikasa menunggu.
Sudah larut. Eren belum juga pulang. Eren selalu bilang padanya agar tak keluar malam-malam. Eren bilang, perempuan tak boleh keluar larut malam. Dan Mikasa selalu menuruti semua larangan Eren—yang menurutnya benar.
Mikasa tahu Eren selalu mengkhawatirkannya. Eren selalu begitu. Meskipun Mikasa dan teman-teman sudah tahu, bahwa Eren menganggap Mikasa tak lebih dari seorang saudari yang harus terus dilindungi.
Walau kenyataannya Mikasa jauh lebih kuat daripada Eren.
Mikasa meraih remote, menonton siaran tengah malam—mengusir jenuh. Siaran tengah malam. Jika tidak berita cuaca, pasti film aksi bergendre dewasa.
Walaupun Mikasa itu wanita yang tahan banting, tapi percayalah. Dia lebih suka drama korea manis daripada perang-perangan. Karena sejatinya, ia adalah wanita. Makhluk lembut yang haus kasih sayang. Sekuat apapun ia, ia akan menangis kala sudah lelah menghadapi semuanya.
Siaran peramal cuaca di teve kembali mengingatkannya pada masalah awal: Eren belum pulang.
Mikasa ingin menghubungi Armin. Tetapi ia yakin Armin Arlert telah terbang ke pulau kapuk. Armin 'kan anak teladan. Sejak dulu.
Ia menghela napas. Tak jadi masalah Eren belum pulang. Eren pasti pulang. Eren adalah lelaki dewasa, yang tak perlu diberi arahan jalan pulang.
Ia menyenderkan kepala pada sofa. Memejamkan mata, mulai terlelap.
—0O0—
Musim gugur, daun kering berguguran, suhu dingin, Mikasa Ackerman berdiri. Mematung. Tak mengeluarkan sepatah katapun dari bibir manisnya.
Orang-orang berjalan. Sebagian berjalan tergesa menghindari suhu, sebagian lagi duduk di bangku pinggir jalan.
Anak-anak riang bermain dengan dedaun kering. Orangtuanya memperhatikan dari jauh. Duduk di bangku sambil sesekali mengobrol dengan orangtua lainnya.
Iris legam Mikasa menjadi agak buyar. Pandangannya sedikit memburam. Ia sembunyikan mulutnya pada syal merah lusuhnya, berharap bisa memberikan sedikit kekuatan agar tak tumbang saat ini. Ia hirup aroma. Meskipun wangi Eren sudah lama menghilang dari situ. Mikasa masih setia. Ia masih setia dengan syal merah lusuh ini. Menolak walau Eren menawarkan yang baru. Ia butuh syal ini, ia sayang syal ini. Sebab ini adalah pemberian pertama seseorang yang ia setiakan.
Mikasa kuat. Dia adalah seorang Ackerman dewasa. Apapun bisa ia lakukan. Pengendalian tubuhnya sempurna. Lebih dari orang biasa.
Walau begitu, Mikasa selalu tak bisa melakukan satu hal.
Eren menyengir. Mikasa memerah.
Baginya Eren adalah segalanya. Yang mengajarkannya kehidupan, yang memberinya hak untuk hidup, dan ... yang selalu membuat dirinya hidup.
Kisah Mikasa itu begitu panjang. Dan sebagian besar berisi pelajaran agar kau tetap setia pada pasangan yang bahkan hanya menganggapmu ibu.
Dan tidakkah kau mengerti?
Mikasa itu naif.
Mikasa itu bodoh. Seorang Ackerman paling tolol. Bukan. Bukan bodoh dalam artian berpikiran pendek. Bodohnya Mikasa adalah ia tetap bertahan, meski secara tak langsung telah ditolak pujaan hati sejak pertama jatuh cinta.
Klise, bukan?
Orang bilang Ackerman itu keluarga paling kuat. Kuat, dan juga ditakuti. Mikasa termasuk ke dalamnya. Namun pasti yang kuat selalu memiliki kelemahan. Mikasa juga punya kelemahan, yang paling besar celanya.
Eren.
Satu-satunya kelemahan terbesar Mikasa adalah sebuah kata dari Eren yang ia ucapkan dengan senyum sumringah.
"Aku akan menikah, Mikasa."
Dengan lambatnya kalimat itu mengalun.
Meremas hati, membakar jiwanya yang selama ini hidup damai di dalam sana.
Eren akan menikah. Sudah terlambat. Kesetiaan berpuluh-puluh tahun sirna hanya karena tiga kata menyakitkan yang keluar dari mulut Eren. Membawanya jatuh ke tanah. Menghempas semua kekuatan yang ada ... menyayat hatinya sebagai seorang wanita.
Mikasa kuat. Ia kuat. Hanya itu yang ia mantapkan pada hatinya yang hancur. Cintanya disiakan. Penantiannya selama ini tak di balas. Cintanya bertepuk sebelah tangan.
Tak ada yang bisa diperbuat. Mikasa meneguk ludah. Ia pejamkan mata mewanti air mata yang berengseknya jatuh. Genggaman syal menguat, menimbulkan kusut.
Sudah terlambat. Tak ada yang bisa lagi diperbuat.
Kini, dengan hati dan jiwa yang hancur berkeping, Mikasa mendeklarasikan, ia telah kalah.
Dan dengan tanpa membawa nama tinggi keluarganya, Mikasa memantapkan jiwa,
Ia menyerah.
Daunnya gugur. Melewati mereka berdua yang perasaannya terbelah dua. Menjadi dua kubu yang begitu berbeda. Mengingatkan Mikasa akan daun yang gugur tadi, bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Akan selamanya, dan selalu begitu.
Sama sepertinya, yang meski telah dijauhkan berkali-kali, ia tak akan pernah bisa membenci si Angin.
Tak akan pernah bisa.
Note:
Trims yang udah baca sampe sini. Bikin terharu *elap ingus.
Saya tahu fic ini (agak) ngebosenin (banget), makanya saya terharu :') btw, sadar ga sih, ada judul salah satu buku karangan novelis favorit saya?Yup. Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin. Karya Tere Liye, kenal dong yha. Dan kalo diperhatikan, fic ini mirip sama novel di atas, karena terinspiransi dari sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Whiteout
Short StoryMereka terlalu naif. Hingga berpikir waktu tak akan mengundang jenuh. RivaEre shortfic. Mari membaca ditemani secangkir teh!^^