Pria itu sudah berlari selama berjam-jam, lari tunggang langgang menerjang dan melewati lorong-lorong. Ia pikir ia mampuh, namun tidak, ia terus berlari seiring dengan langkah kaki yang berdentum mengejarnya.
Sebuah terowongan dan rel kreta, memilih masuk kedalamnya ia menyatu dengan gerombolan orang, bersikap se-biasa mungkin agar tak mencurigakan. Jantungnya berdegup tak karuan, lelah, letih dan kelaparan. Pria dengan setelan mantel yang nampak kusam itu berhasil menyerundup masuk dalam perjalanan jauh menuju madrid, bersender, menikmati pemandangan yang tak begitu menarik.
Mr. Axel dan Berzy menyewa Andren untuk mengamati burung. "Bayangkan dia" kata Mr. Axel pada Andren dengan nada serius, "Lemah seperti Merpati"
"Bisa terbang tinggi? Membela diri?" tanya Berzy sedikit penasaran namun terkesan bodoh lantaran ucapan itu hanya sebuah kiasan.
"Tidak temanku, itu hanya sebuah metafor, di antara yang lain Merpati sangat lugu namun bisa sangat mengejutkan," Perlahan Birzy mengangguk, ia mulai mengerti.
Andren melangkah dengan T-shirt dan jins hitamnya, sedang Mr. Axel dan Birzy mengikutinya dengan balutan setelan hitam yang elegan.
Gemerisik terdengar dalam kegelapan, pisau dan pistol berada di tangan Andren, kemudian tidak ada di tangannya lagi, dan pisau itu melayang lembut, disusul suara tembakan di langit-langit. Kepala rusa yang sengaja Mr. Axel gantung terlihat tak layak dengan pisau yang menanjap tepat pada kedua bola mata, lampu kaca bernilai tinggi pun hancur di tangan Andren. "Apa aku harus menghancurkan merpati itu?" gaya arogan milik Andren tak sekalipun membuat Mr. Axel tersinggung.
Pria kaya itu mendekati Andren dan menepuk punggung tegap itu sebanyak dua kali, "Tak perlu menghancurkan, cukup mengusik saja, biar pemiliknya yang bereaksi" katanya dengan cengiran sinting mencoba memanipulasi Andren.
*
Satu tahun Alanis tinggal di Madrid, meninggalkan London dan hidup di awasi di sini. Pada awalnya Alanis memandang kota Madrid sebagai kota yang abu-abu, bahkan hitam itupun menurut cerita salah satu pembantunya. Alanis selalu di larang untuk berada disini, letak yang jauh dari London cukup menjadi alasan kuat bagi kakeknya untuk melarang, namun Alanis tau ada sebab lain mengenai larangan ini.
Alanis begitu terkejut mengetahui Madrid begitu berwarna, indah dan mudah membuatnya tersenyum cerah. Jika tau begini sudah sejak lama ia kabur untuk menjelajah.
Saat pertama kali tiba, Analisis mendapati Madrid kota yang aneh, pada dasarnya tidak bisa di mengerti oleh akalnya. Hanya terpacu pada peta Tube, gambar topografi jalur kereta dan stasiun bawah tanah yang elegan dan multiwarna itu yang sedikit memberi kesamaan dengan keteraturan London. Perlahan-lahan ia menyadari peta Tube adalah fiksi berguna yang membuat hidup menjadi sedikit lebih muda walau tidak sama dengan kenyataan bentuk kota Madrid. Rasanya seperti masuk politik, pikir Alanis suatu hari, dengan bangga memamerkan kesamaan peta Tube dan politik di acara pesta di depan orang asing dan di depan wajah Master, membiarkan komentar politik yang di lontar kan orang lain.
Setelah beberapa saat, Alanis mendapat dirinya menerima Madrid begitu saja, seiring waktu dia merasa bangga lantaran berhasil menepatkan kaki pada kota ini. Ia tak menyesal meninggalkan London dan pindah di suatu kota di negara yang berbeda.
Pagi ini ia terduduk di sebuah cafe berdinding bata merah dan batu putih, terlihat kuno namun cukup menghangatkan. Disini ia hidup cukup layak lantaran kartu debitnya tak satupun terblokir, ia tau Master ter-kasihnya tak akan berbuat sekejam itu padanya.
Mengamati bus merah dan taksi, kotak-kotak merah yang tersusun di jalanan dan manusia manusia yang nampak sibuk berjalan-jalan, membuat Alanis tersenyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Curiosidad ✔
RomanceDi saat mana pun dalam perjalanan ini, Alanis tidak berhenti berfikir. Dia tidak punya kemauan untuk melakukannya. Entah di mana dalam bagian kepalanya yang masih waras, seorang bangsawan- Alanis Gene Langford yang normal dan waras-memberitahunya be...