"Menghadiri pensi sekolah tingkat atas?" alis Elang bertautan ketika Daniel mengajaknya menghadiri pensi. "Bukankah lebih baik Ayah saja yang pergi?"
Daniel menghela nafas panjang, "ini langkah awalmu untuk bisa menarik perhatian rakyat ketika masa jabatanku habis. Kalau kau lupa, kau akan segera memiliki permaisuri."
"Baiklah, saya akan ikut," putus Elang kemudian bangkit dari kursinya, membungkuk tanda hormat pada Daniel dan segera keluar dari ruang kerja Daniel.
Lagi.
.
.
.
Alexa berjalan terburu-buru sembari membawa barang belanjaan yang Haris pesan tadi. Dirinya terlalu ceroboh hingga menabrak tubuh atletis yang membawa bola basket. Beruntungnya karena bokong Alexa yang mencium lantai terlebih dulu.
Alexa meringis pelan, tiba-tiba sebuah tangan terulur untuk membantunya berdiri.
"Terimakasih, dan maaf," ucap Alexa menerima uluran tersebut kemudian membungkuk pada orang yang membantunya setelah bisa berdiri.
"Lain kali hati-hati."
Suara itu. Alexa dengan cepat mendongakan kepala dan melihat wujud Bastian di sana, berbicara pada dirinya dan membantunya berdiri.
"Untung saja tubuhmu kecil. Stay focus girl," ucap Bastian sambil mengacak puncak rambut Alexa yang sukses membuat dirinya membeku ketika Bastian sudah meninggalkan tempat itu.
Alexa segera menyadarkan diri dan berlari menuju toilet. Menetralkan detak jantungnya di sana.
"Bagaimana mungkin, aku seceroboh itu sampai menabrak Bastian? Oh, apakah aku gila? Iya, aku gila karena sangat menyukainya. Apa yang harus kulakukan setelah ini? Dia pasti sudah mengenali wajahku sehingga aku tidak mungkin bisa mengamatinya dari dekat lagi. Ah!" Alexa terus bergumam dan mengusap wajahnya kasar. "Bagaimana ini?"
"Hadapi saja. Toh, sudah terjadi."
Suara itu membuat Alexa terkejut hingga menatap sumber suara.
"Kenapa? Masih bingung harus bagaimana menghadapi kejadian seperti ini?" tanya Rachel dengan tangan yang tersiram air mengalir.
Melihat Alexa tak menanggapi pertanyaannya, Rachel melanjutkan jawaban dari pertanyaannya, "katakan saja kau adalah pengagum rahasianya, dan kau menyukainya."
"Tidak bisa. Aku tidak bisa seberani itu untuk menyatakan," jawab Alexa.
"Coba saja." Rachel mengambil tisu dan mengelap tangannya, "ah, nanti saja kau pikirkan. Bawa barang itu dan segera selesaikan pekerjaanmu, Haris menunggu."
Alexa mengangguk kemudian ia dan Rachel berjalan ke tempat Haris berada.
.
.
.
Suara dentuman drum, petikan lembut gitar, dan tekanan merdu piano membuat ruang musik di sekolah Alexa berwarna. Di sana ada Carissa dengan mikrofon sedang meyanyikan lagu yang diciptakan oleh Sasha, selaku ketua band Rainbow sekolah mereka.
Arjuna datang dengan dua mineral, memberikannya satu pada Lexa dan menikmati alunan warna yang padu dalam ruang musik. Dan tiga nada drum terakhir telah menyelesaikan lagu yang Carissa bawakan bersama Rainbow.
"Bagaimana, Kak?" tanya Carissa antusias pada Lexa. Berharap ia mendapat respon bagus dari kakaknya itu.
Alexa tersenyum lebar kemudian mengangkat kedua jempol tangannya, diikuti oleh Juna.
Melihat respon bagus dari Lexa dan Juna, anggota band Rainbow semakin bersemangat untuk penampilan mereka.
"Hari ini latihan kita sampai di sini. Kita lanjutkan besok sepulang sekolah," ujar Sasha pada anggotanya yang mulai mengangguk satu persatu.
Sasha mulai mengemasi barang-barangnya, diikuti oleh Lulu dan Flora. Kemudian berjalan keluar dari ruang musik.
"Terimakasih ya, Kak," ucap Carissa dengan penuh senyuman.
"Ayo pulang!" ajak Juna seraya menggendong tasnya. Alexa mengangguk.
Mereka bertiga meninggalkan ruang musik, berjalan ke lapangan dalam. Sudah ada Rachel di sana, sedang berkemas dan bersiap untuk pulang.
"Sudah selesai?" tanya Rachel sembari mengikat rambutnya yang tadi sempat berantakan.
"Bukankah seharusnya kami yang menanyakan hal itu padamu?" tanya Juna balik, acuh tak acuh.
Rachel mendengus, "biasa aja dong."
"Pernyataan itu untukmu, bukan aku," tukas Juna.
Rachel kembali mendengus. Alexa segera melerai mereka berdua, "malu dilihat orang, ayo pulang!"
Mendengar ajakan Lexa, mereka akhirnya berjalan beiringan untuk pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan Carissa menahan tawanya sedari tadi.
.
.
.
Ruang arena di Istana Immortal terdengar sangat gaduh. Di sana, dua orang pria sedang beradu pedang tajam yang sewaktu-waktu bisa saja menghunus dan membunuh mereka di tempat.
Sudah sejam mereka di sana, dengan pedang kesayangan mereka. Hingga akhirnya pergerakan pedang Elang melemah.
"Sudah puas?" tanya Raul dengan nafas tersengal sembari memasukkan kembali pedangnya.
Elang enggan menjawab pertanyaan Raul.
"Kau sudah dewasa, memang sudah seharusnya kau yang memimpin pulau ini," ujar Raul.
Elang menghela nafas kasar, "mana mungkin Ul."
"Sudah kewajibanmu, Lang. Jadi jangan mengelak lagi dari kenyataan. Jika sampai itu terjadi, aku akan menghajarmu!" tegas Raul kemudian meninggalkan Elang sendirian dengan segala masalah yang berkecamuk dalam pikirannya.
Cukup lama Elang sibuk dengan pikirannya, sampai akhirnya ia mengerang frustasi di ruang arena.
.
.
.
[TBC]
KAMU SEDANG MEMBACA
ELANG
FantasyDALAM MASA HIATUS [PERHATIAN] Cerita hanyalah fiksi belaka, bila ada kesamaan tempat atau apapun itu, merupakan sebuah ketidaksengajaan. *** Seorang manusia yang memiliki mata tajam seperti elang. Seorang manusia yang dingin. Seorang manusia yan...