Bak Penampungan Air

774 41 5
                                    

Pagi ini aku bersiap untuk pergi ke pasar. Aku dan Wanti temanku yang malam tadi menginap di rumahku. Karena jarak pasar yang tidak terlalu jauh, kami memutuskan untuk berjalan kaki saja sambil joging.

Di luar suasana masih sepi, dingin dan lembab. Suara lolongan anjing liar, jangkrik dan katak menjadi pemberi andil terbaik untuk suasana mencekam ini.

Rumah warga masih sepi semua. Seperti tidak ada satu orangpun yang tinggal di dalamnya. Lampu di rumah-rumah juga masih padam. Mungkin mereka memilih bersembunyi di balik selimut daripada berebut sayur di pasar.

"Na, kamu yakin kita mau jalan kaki?" Wanti bertanya ketika, berjalan melewati pagar rumahku. Ia mengerat jaketnya dengan tubuh menggigil. Mungkin ia merasakan takut, sama sepertiku tapi aku menyembunyikan hal itu.

Aku menoleh. "Iya, sekali-kali sambil joging 'kan asik," ucapku sambil tersenyum yakin.

"Senternya nyalain dong, Na," Wanti menggosok tengkuknya. Ia terlihat gelisah ketika kami mulai melewati hamparan ladang yang dipenuhi tanaman padi.

Aku menyalakan senter kecil yang tidak begitu terang. Di sini tidak ada lampu jalan, bahkan rumah satu dan yang lain paling dekat berjarak dua ratus meter. Area ini mayoritas masih di penuhi ladang yang ditanami padi dengan pohon jati yang rapat di kanan kiri jalan.

Langkahku terasa berat saat mataku menatap tampungan air yang sudah tidak digunakan selama puluhan tahun tapi tetap dibiarkan oleh warga. Bak besar yang sudah dipenuhi akar pohon itu terlihat mengerikan dengan badan bak yang sudah mengelupas semennya, apalagi di sekitarnya tumbuh pohon bambu yang lebat, membuat suasana menjadi menakutkan.

Krieeeet....

Suara derit batang bambu membuatku terlonjak, bahkan jujur saja kakiku sudah terasa lemas dan aku mulai kesulitan berjalan.

Aku melirik ke arah tampungan air, entah karena aku yang penasaran atau memang sesuatu mengarahkan kepalaku untuk menoleh. Kakiku terasa berat, begitu pun Wanti, ia terlihat lebih gelisah daripada tadi. Bahkan ia berjalan dalam diam dengan kepala menunduk. Tangannya meremas jaket depannya.

Senter di tanganku semakin redup. Langkahku terasa semakin berat saja saat kegelisahanku semakin besar yang diikuti rasa takut yang mulai merambati batinku.

Keringat mulai menitik, dadaku berdegup lebih kencang dan kakiku lebih berat melangkah dari sebelumnya.

Napasku berembus sesak. Aku kembali menguatkan kakiku yang hampir terasa lemas. Lalu dengan kenekatan dan rasa penasaran yang besar aku menoleh.

"Kyaaaaa," aku berlari terseret-seret saat mataku menangkap sesuatu berwarna putih dan panjang berdiri di atas Bak penampungan air itu. Apa pun itu terlihat mengerikan dengan mata bulat dan hitam. Wanti berlari lebih kencang meninggalkanku yang sudah mandi keringat di belakangnya.

Aku memejamkan mata sambil terus berusaha keras menyeret kakiku yang terasa lemas. Sumpah, aku benar-benar ketakutan pagi itu.

****

Pengalaman pagi itu masih teringat jelas di dalam benakku. Hingga beberapa saat lalu, aku pergi ke rumah orang tuaku. Di tempat itu, bak penampungan air sudah rata dengan tanah.

Tapi tetap saja tempat itu terasa menakutkan. Entahlah, setiap aku lewat, aku pasti ingin menoleh.

(End) Mbaak... Bareng Ya? #DiantarSiapa? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang