Lutut Mengilap Di Pertigaan

396 23 24
                                    

Ini malam selasa, bukan malam jumat. Ini juga bukan selasa kliwon, yang kata orang kampung lebih menyeramkan daripada malam-malam lain.

"Dek, berani ke warung nggak?" tanyaku pada Lina, adik perempuanku.

Lina mendongak, menatapku yang sedang berdiri di seberang meja. Ia menoleh ke arah jam di dinding yang menunjukkan pukul 18: 15, lalu ia kembali menatapku.

"Kalau sama-sama, aku mau. Kalau sendiri, ogah!"

Aku tertawa.
"Kamu takut, 'ya?" tanyaku mengejek, sebenarnya agar ia merasa kesal lalu aku tidak perlu berangkat juga.

"Aku maunya berdua, kalau Mbak nggak mau ya udah." ia kembali menekuri ponselnya. Mengabaikanku.

Aku mendesah. "Baiklah baiklah! Ayo berangkat sekarang. Mbak pengen makan mi goreng," ucapku sambil melenggang ke arah pintu.

Sebenarnya di kampung kami, dilarang berjalan saat maghrib, tapi karena kebutuhan, akhirnya aku nekat keluar rumah. Meskipun aku sempat takut saat sudah berada di teras.

Aku menatap sekitar. Baru jam segini, tapi di sini sudah gelap dan sepi. Tidak ada penerangan jalan sama sekali, dan jarak rumah satu dan yang lainnya juga jauh-jauh.

Rumahku berada paling pingir, di kanan kiri depan belakang rumah hanya ada kebun dengan tanaman padi yang belum terlalu tinggi.

Aku mendongak, langit sudah gelap dengan beberapa bintang yang sudah berkerlipan.

"Ayo, Mbak."

Lina keluar dari rumah. Lalu kami mulai berjalan berdampingan menuju warung yang berjarak kurang lebih 500 meter dari rumah kami.

Jalanan lengang, mengingat aku hanya memiliki tiga tetangga, itu pun pintu rumahnya sudah tertutup rapat. Hanya terdengar suara samar-samar televisi yang mereka tonton.

"Ya ampun, kok jam segini udah sepi banget?" tanyaku untuk mengurangi rasa takutku yang mulai merayapi.

"Iya, memangnya mau ngapain jam segini. Enaknya ya tiduran sambil nonton tv, bukanya keluyuran cari mi."

"Iya, juga sih. Nggak kayak kita, malah keluyuran mau beli mi," jawabku sambil tertawa.

Kami berjalan sambil mengobrol, melewati kebun yang terasa lebih panjang saat malsa hari.

Lalu langkahku semakin berat saat kami tiba di pertigaan. Ke kiri menuju warung dan ke kanan menuju gunung yang menjadi pemisah antara kampungku dan kampung tetangga.

Oke. Aku tidak berani menoleh ke arah gunung. Meskipun ada lampu listrik lima watt yang menerangi pertigaan, tapi itu tidak cukup membuat tempat ini lebih terang. Tetap saja remang-remang, apalagi ditambah gerimis semakin menambah suasana lebih mencekam.

Dulu nenekku pernah bercerita, waktu beliau masih muda katanya di tempat ini pernah ada yang di ganggu glundung pringis- (sumpah. Aku merinding😂😂) -hingga membuat orang yang kebetulan sedang sial bertemu dengan makhluk itu.

Ada lagi yang bercerita, dulu di tempat ini ada yang dikejar sompring yang bisa berjalan sendiri. Ugh! Cerita horor zaman dulu memang juara seramnya.

Cerita itu akhirnya menjadi kisah turun temurun, hingga sekarang. Dan membuat tempat ini lebih seram.

Kami melangkah dengan tenang dan diam. Melawan ketakutan di hati kami. Ya, aku takut dan aku yakin ia pun juga takut. Saat aku melirik wajah Lina terlihat tegang dengan tatapan lurus ke depan. Cara berjalannya pun juga terlihat aneh, seperti orang yang sedang baris berbaris, mirip pengibar bendera saat upacara di sekolah.  Aku menahan tawa, ingin sekali tertawa tapi takut meskipun hanya sekadar tertawa. Setelah beberapa meter menjauh dari pertigaan aku menghela napas lega. Kami bisa terbebas dari rasa takut yang mencekam.

(End) Mbaak... Bareng Ya? #DiantarSiapa? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang