Memedi

621 68 113
                                    

Kamu terus menggerakkan kakimu dalam kegelapan malam yang sunyi. Tiap langkah cepat yang kamu ambil membawamu lebih dekat dengan satu tikungan gelap sebelum bangunan kampusmu terlihat. Jantungmu berdetak, berakselerasi dalam dentum ritme kacau yang memicu keringat dingin di tubuhmu. Napasmu tertambat, terengah dari jalan setengah berlarimu.

Tap ... tap ... tap ....

Kamu mendengarnya, langkah kaki yang mengejar di belakangmu, stabil untuk menyamai kecepatan langkahmu. Bulu-bulu di belakang lehermu berdiri. Kamu merasakannya, sadar bahwa dirimu tidak sendirian lagi. Kamu diikuti.

"Jangan menoleh! Aku tidak mau menoleh," gumammu saat angin melambaikan daster putih kostum Halloween-mu. Rambut hitam panjang yang kamu gerai tertiup, menggosok pipimu yang sekarang memerah kedinginan. Kamu memejamkan matamu berharap lampu di tikungan tidak lagi mati. Tentu saja itu mati, itu selalu mati.

Gelap menyerang indramu, hawa dingin yang tiba-tiba menyelinap ke bawah kulitmu merasuk hingga ke dalam tulangmu. Bibirmu gemetar, gigi bergemerutuk, kamu menggigil dengan tubuh yang bergetar seperti daun. Kamu mulai merasa seperti berada di film horor. Gambar-gambar hantu mengerikan berkelebatan di balik kelopak matamu yang tertutup, memaksa mereka untuk terbuka dalam kegelapan yang menekan.

Hanya siluet samar dari tiang lampu jalan yang mati di tikungan yang dapat kamu lihat. Kamu mendengar suara berdesir, seperti alas kaki yang diseret melawan aspal jalan yang kasar. Terus melangkah, kamu memaksa kakimu bergerak maju, bertekad untuk melewati tikungan secepat mungkin. Darah mendesis di nadimu dalam ketakutan yang memakanmu. Udara terasa tegang, tebal dengan hawa mistis yang menyentuh kulitmu.

"Terus saja berjalan dan abaikan!" desismu meski dorongan untuk menoleh ke belakang menggedor otakmu. Kamu tahu pasti ada yang mengikutimu, kamu merasakannya, itu merayap di kulitmu yang merinding seolah semut kecil merangkak di sana.

Tap ... tap ... tap ....

Langkah kaki itu terdengar lebih cepat saat kamu juga mempercepat jalanmu melintasi tikungan, kamu berbelok hampir tersandung kakimu sendiri ketika suara namamu tertiup di udara. Samar-samar di telingamu, kamu mendengar namumu dibisikkan dalam desisan lembut yang membuai dan membujukmu untuk berbalik. Merayumu untuk melihat ke belakang. Lihat apa yang mengikutimu. Kakimu berhenti, membeku dan menempel erat pada aspal jalan. Angin berembus sedikit lebih kuat dari sebelumnya, meniup rambut berantakanmu menjadi lebih kacau.

"Tidak! Terus berjalan, jangan menoleh ke belakang!" desismu dan kamu memaksa kakimu kembali melangkah. Atmosfer beriak di sekitarmu, seperti cairan kental yang menahanmu, memperlambat gerakan kakimu untuk maju. Kamu merasakan jari-jari seringan bulu meraih bahumu sedikit menyikat kulit di lehermu, mencoba untuk membuatmu tinggal dan sekali lagi, namamu didesiskan di udara malam yang mencekam.

Rasa tercekik mengancammu tapi kamu terus memaksakan jalanmu, menjauh dari tikungan, menjauh dari apa pun yang mencoba mengikutimu. Lampu jalan pertama setelah tikungan terlihat dan cahaya samar dari gedung kampusmu mulai tampak. Kamu masih merasakan mata yang mengawasimu, membuat bulu kudukmu meremang, hingga kamu hampir mencapai gerbang depan kampus yang terbuka.

Temanmu menunggu di sana. Kamu berlari, haus untuk berada di dekat makhluk hudup lain dan ketika kamu mencapainya kamu menoleh hanya untuk melihat sosok hitam tinggi besar, berdiri di ambang kegelapan tikungan. Mata merah menyala menatapmu, hingga kamu berkedip dan itu lenyap. Kamu diantar siapa?

Jawa Tengah,
Sabtu, 6 Oktober 2018
11.56 WIB

Memedi (#DiantarSiapa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang