Bagian dua

10 2 0
                                    

Pagi itu cerah seperti biasa. Seragam abu-putih berhadapan dengan seragam biru-putih: aku. Ya, karena murid di sekolahku sedikit, hanya empat angkatan saja dari kelas 7-10, jadi setiap upacara, semua siswa baik SMP maupun SMA dibariskan bersamaan. Rasanya lucu sih, apalagi kalau melihat perbedaan ukuran fisik kami dengan para kakak di SMA, liliput dan raksasa. Tapi sedikitnya murid di sekolah membuatku bisa menghafal semua kakak kelas yang jumlahnya hanya lima puluh orang itu.

Sekolah ini sebetulnya bukan sekolah yang benar-benar baru. Dulu sudah ada beberapa angkatan yang lulus. Tapi, katakanlah, sekolah ini lahir kembali dengan formasi yang berbeda dengan sebelumnya, sehingga yang masuk hitungan hanya empat angkatan terbaru saja. Kenapa? Tak tahulah. Urusan sekolah. Yang jelas aku suka dengan jumlah yang sedikit ini karena membuat kami jadi cepat akrab.

"Katrina!" Aku menoleh.
"Firda? Kenapa?"
"Dipanggil Ustadzah Sisi. Katanya kamu belum setor hafalan?"
"Ohya! Oke oke. Di kelas Khadijah?"
"Biasa. Cepet ya," aku segera berlari secepat kilat. Kalau kelamaan bisa-bisa kena hukum mengepel kelas lagi. Tidaak..!

***

Huuft, akhirnya usai juga. Syukurlah tadi masih ada yang mengantri, jadi tidak sampai buat ustadzah menunggu. Kantin agak sepi, jajan dulu ah!

"Teh, donat dua sama es teh satu ya," tak lama akupun khusyuk menikmati sajian di hadapan. Habis setoran memang paling enak dipake ngemil. Hehehe.
"Makan mulu, Kat,"
Eh? Siapa tuh?
"Kak Angga? Mau?" Aku menawarkan donat yang masih utuh di atas meja.
"Engga, ah. Buat kamu aja, tar kurus kamu," aku hanya tersenyum, tak menanggapi candaannya.
"Lancar setorannya?"
"Alhamdulillah, kak," hening.
"Yaudah, aku balik ya. Selamat makan," aku hanya mengangguk.

***

Sekolahku menganut sistem asrama enam hari. Jadi setiap ahad kita bisa pulang ke rumah masing-masing. Kalaupun tidak pulang, sekolah menyediakan berbagai fasilitas untuk mengikuti ekstra kurikuler jika sabtu belum mencukupi. Sekali sebulan diadakan nonton bareng setiap kelas yang akan tampil menunjukkan kreatifitasnya di atas panggung. Tiga bulan sekali ada kegiatan berkemah. Satu semester sekali ada kunjungan ke tempat pendidikan atau seminar baik di dalam atau luar sekolah. Singkat cerita, aku betah di sekolah dan jarang minta pulang. Pun kebanyakan murid disini.

"Katie,"
"Katieee~,"
"Katrinaaa! Ko diem aja sih?" Aku menoleh.
"Eh, kak Danu. Kenapa, kak?"
"Kamu udah makan?"
"Udah,"
"Masih laper? Kita jajan, yuk,"
"Engga kok, udah cukup,"
"Bener? Aku traktir nih,"
"Gausah kak, makasih," aku beranjak cepat menuju asrama.

***

Palang Merah Remaja alias PMR baru saja membuka rekrutmen anggota baru. Awalnya aku mau ikut, tapi sayang, tanggal diklatnya bentrok dengan kunjungan ummi dan abi. Rumahku jauh dari sekolah, beda kota malahan. Jadi kalau ummi abi kesini rasanya sayang kalau jadi tidak bertemu. Ya bisa aja sih minta lain waktu, tapi ummi abi juga kan ada pekerjaan lain. Engga enak kalau minta dibatalkan. Jadi aku memutuskan untuk tidak dulu ikut PMR. Mungkin nanti tingkat dua, kalau masih minat.

"Rin, Katrina,"
"Ya? Kak Haikal?"
"Kamu engga ikut PMR, ya?"
"Engga, kak,"
"Wah sayang banget, padahal tadi ada yang nyariin nama kamu di form pendaftaran. Dia sedih banget lho ga nemu nama kamu di situ,"
"Oh,"
"Kamu yakin engga akan ikut, Rin?"
"Engga, kak,"
"Tahun depan?"
"Belum tau, kak,"
"Nanti ikut ya, biar si dia engga kecewa," aku hanya senyum dan pamit ke asrama.

***

Malam ini tiba-tiba saja sejumlah murid di asramaku mengerubungi kasurku.
"Eh? Kenapa ini? Aku ada utang?"
"Kat. Elu normal?"
"Hah?" Aku mengeryit heran. Pertanyaan macam apa itu?
"Kat, gue tau kita masih kelas tujuh, masih bocah baru lulus SD. Tapi gue engga nyangka elu polosnya kebangetan,"
"Apa sih Sar?" Aku mulai tidak suka. Ini sarah, anak ibu kota. Khas dia banget kalau ada apa-apa main cablak dan apa adanya. Tapi nadanya yang agak naik membuat aku kurang nyaman.
"Rabb, lo engga sadar banyak yang kasih elu kode?"
"Kode? Mm..morse?"
"Buset," sarah menepuk jidatnya sendiri. Beberapa anak di sebelahnya ikut geleng-geleng muka dan memasang muka prihatin. Apaan sih?
"Kat. Setidaknya tiga cowok mendekati elu! Apa engga ada getaran cinta mereka yang sampai dengan baik ke hati lu?"
"Eh? Siapa?"
"Kak Angga. Kak Danu. Kak Haikal. Engga ada yang kerasa satupun?"
"Oh?" Aku mulai mengingat-ngingat momen ketika berjumpa dengan tiga senior itu. "Tapi kan mereka engga bilang yang cinta-cintaan gitu,"
"Oh my. Gue engga ngerti lagi deh. Mungkin lu harus dapet dulu baru ngerti kayaknya. Belum dapet kan lu?"
"Dapet?"
"Dapet HAID! Allahurabbii.. Beneran polos nih anak. Ckckck. Yodah bubaar bubaar semuaa.." Seketika mereka bubar jalan setelah dikomandoi sarah. Aku masih bingung. Apaan sih? Getaran cinta apaan coba?
***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketika Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang