Meredakan Perih

93 6 0
                                    

Sebenarnya, tidak semua orang akan benar-benar peduli pada apa yang sedang terjadi denganku. Beberapa dari mereka biasanya hanya sekadar ingin tahu, kemudian setelah itu cukup memintaku untuk tidak terlalu lama berlarut dalam pilu. Jarang sekali menemukan orang yang tidak hanya ikut merasakan, tetapi juga benar-benar turut memahami apa yang kuinginkan. Aku terlalu sering merasa dibiarkan, tanpa peluk hangat seseorang yang berusaha menenangkan.

Terkadang, aku ingin berteriak sekencang mungkin agar seisi dunia dapat mendengar setiap luka yang semakin menyakitkan. Aku merasa perlu memberi tahu semesta bahwa aku tidak siap merayakan kehilangan. Mungkin, aku baru akan merasa tenang saat seseorang kembali datang dan bersedia memberikan pundaknya untuk tempatku bersandar. Dan orang itu, tidak lain adalah “kamu” yang kuharap selalu membersamaiku dalam berbagai keadaan.

“Jangan pergi”, hatiku menjerit perih. Namun egomu terlampau tinggi, hingga tak lagi mempedulikan aku yang masih mengharapmu kembali. Mendadak hari-hariku terasa sepi kembali, setelah kamu memutuskan untuk pergi dan membiarkanku seorang diri.

Tawaku terasa hambar saat harus terpaksa bersikap biasa saja di depan orang-orang. Sedang kepingan patah hatiku yang masih berceceran, dengan bersusah payah harus kusembunyikan dibalik topeng yang kupakai. Biar saja aku tetap terlihat sebagai sosok paling periang, tanpa perlu tahu bahwa dibaliknya ada banyak kepura-puraan.

Lantas, harus bagaimana caraku meredakan pilu? Mungkin teramat mudah bagimu untuk melepas dan melupakan seluruh tentangku. Hingga seringkali kuperhatikan caramu bersikap pada hal-hal yang mungkin terkesan mengganggu. Bahkan, tidak mustahil bagimu jika harus kembali memulai kisah baru dengan seseorang yang tentu saja bukan aku. Benar begitu? Sedang aku, nyatanya belum mampu seperti itu.

Aku merasa sedang diposisikan pada keadaan-keadaan yang berlawanan. Antara kembali memperjuangkan, atau harus tetap melupakan. Logikaku seringkali mendorong untuk belajar merelakan, sedang naluriku masih begitu percaya bahwa kesungguhan seseorang mampu mendatangkan keajaiban. Kemudian logika pun kembali menyadarkan; bahwa setiap kepedihan hanya akan usai dengan satu jawaban. Cukup lupakan, seraya belajar merelakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 08, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kiat-Kiat Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang