Pagi ini, hari pertama di bulan Desember. Aku memberanikan diri membuka jendela kayu kamarku untuk menyambut udara pagi yang dingin dan sejuk.
Kuhirup nafas dalam-dalam lalu ku lepas perlahan sembari tersenyum lebar.
Aroma tanah akibat siraman hujan memang sangat khas dan selalu saja membuatku lebih semangat beraktifitas.Sudah 3 bulan terakhir, hujan rutin menyiram desa ku. Hujan lebih sering turun pada sore hingga malam hari dan hanya menyisakan gerimis dipagi hari.
Aku tetap menjalani hari-hariku dengan semangat. Kalau kata bapakku, tidak ada satu alasan pun untuk tidak menghargai hari yang telah Tuhan berikan kepada kita.
Ngomong-ngomong soal bapakku, pagi-pagi seperti ini, dia pasti sedang memberi makan anaknya yang ketiga di tanah belakang rumah.
Ya, bapakku punya anak tiga. Yang pertama kakaku, Elina. Anak keduanya adalah aku, Kirana dan anak ketiganya adalah Ranjo alias ayam jago kesayangan bapak yang di rawat dari masih pitik sampai besar seperti sekarang.
Setelah nyawaku terkumpul, Aku pun beranjak dari kasur kapuk kesayanganku untuk bergegas mandi. Kamar mandi rumah ku terletak persis
di samping dapur dan hanya berjarak 3 meter dari kamarku.Sebelum melangkah masuk ke kamar mandi, aku selalu saja mendapati ibu yang sedang bergelut dengan kompor dan wajannya, bahkan beberapa makanan pun sudah ia sajikan di atas meja makan kecil milik kami.
Aku hanya tersenyum kecil setiap kali melihat tubuh mungil ibu yang gesit saat memasak."Wah,, Ikan mas dari siapa, Bu?" tanyaku penasaran begitu melihat ibu mengangkat ikan mas yang sudah matang dari wajan.
Bapak tidak suka memancing. Kalau beli di pasar, itu kemungkinan kecil. Karena masih banyak keperluan lain diluar perut yang harus dipenuhi ketimbang membeli ikan mas dengan harga yang lumayan mahal bagi kami.
"kemarin sore, diantar paman kesini," jawab ibu tanpa mengalihkan pandangannya kepada ku.
Aku hanya mengangguk sembari ber-oh tanpa suara.
Paman Aji rupanya."Buat keponakan tersayang katanya," tambah ibu—kali ini sambil menoleh ke arahku.
"Berarti, hanya aku saja yang boleh memakannya ya, Bu.." balasku menggoda ibu.
Ibu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat ku.Paman ku ini memang terbaik. Kami sangat dekat, bahkan aku lebih dekat denganya ketimbang dengan kakak kandungku sendiri.
Terkadang, paman lebih mengerti jalan pikiran dan perasaanku dibandingkan siapapun. Terlebih, kami seringkali bertukar pikiran layaknya seorang teman.
Tetapi tetap saja, orang dewasa selalu lebih serius.Pamanku ini adalah adik dari ibuku. Usianya saat ini 25 tahun. Dia cerdas, cukup tampan, dan dia mempunyai kepribadian yang mudah membuat gadis-gadis di desa mengaguminya. Yang membuatku heran, pamanku itu tidak pernah sekali pun menghiraukan perhatian dari gadis-gadis itu.
Setiap kali aku tanya mengapa, dia selalu bilang,
"Paman sedang menunggu, Ra."
Menunggu?
Ya, menunggu kekasihnya yang tidak jelas akan pulang atau tidak.
Katanya sih, kekasihnya itu sedang mengejar mimpi. Dan paman bilang, dia sangat ingin menjadi bagian dari mimpinya itu.
Romantis sekali bukan?"Hush, kok malah melamun. Gak jadi mandi, Kamu?" teguran ibu membuat lamunanku tentang paman seketika buyar.
Aku hanya tersenyum, lalu segera melangkah masuk ke kamar mandi berpintu kayu tanpa cat itu.Modal nekat buat nulis ini :)
Ngarepin comment kalian yang udh baca bgt nih!
Di vote juga boleh kalau mau baca lanjutannya.. heheTerimakasih sebelumnya :))
![](https://img.wattpad.com/cover/163941944-288-k484221.jpg)