5. Pakar Mangga

36 2 0
                                    

"Vey, lu-"

Muke gile! Itu apaan di belakang Vey heh? Bentukannya sih cewek. Boro-boro cakep. Itu muke ape ban bocor? Borok semua. Rambut panjang banget kek akar beringin, daster kedodoran kaya spanduk, kumel lagi. Nggak pernah dicuci tuh pasti. Nggak mampu beli detergen apa ya? Ngelihat gua melototin dia, tuh kunti bales melototin gua. Serem...

"Lu ngapa melototin gue? Jangan bilang lo nuduh gue nimpuk lo?" Suara Vey yang tiba-tiba itu nginterupsi gua.

Tanpa banyak bacot gua tarik Vey dan buru-buru kabur dari si kunti kamvr*t. Sialan tuh setan, seenak pantat aja main nongol-nongol depan mata orang. Mana pake melotot-melotot segala lagi. Kaya orang utang kalo ditagih.

"Heh, lo apaan narik-narik, ih!"

"Nggak usah bawel! Jalan aja terus, jangan nengok belakang!"

"Ada apaan sih-aah!"

Vey jerit kenceng pas di kuping gua sambil badannya ndempel-ndempel ke gua.

"Kan udah dibilangin jangan nengok belakang."

"Lo kenapa nggak bilang sih kalo ada setan di sana? Pantesan lo seret gue kaya karung goni."

Gua ketawa denger kalimat terakhirnya.

"Ih, jangan ketawa!"

"Abis, lu ngomong bener banget sih, Karung Goni!"

"Dasar buntelan kardus!"

Gua berusaha ketawa buat bikin suasana nggak terlalu tegang. Entah kemana kaki ini melangkah. Yang jelas gua harus jauh-jauh deh ama tuh kunti sial. Kalau pada awalnya gua yang narik Vey, sekarang kebalik. Malah gua yang ditarik Vey.

Gua juga nggak mikir macem-macem, pokoknya kita harus segera nemuin temen-temen. Sampe akhirnya Vey minta berhenti karena dia udah nggak sanggup lari lagi.

"Udah-udah, Ra, gue capek."

"Bentar lagi lah, Vey."

"Nggak semua orang kuat lari maraton kayak elu, Kuda! Plis, jangan paksa gue lari lagi."

Tanpa menunggu persetujuan gua, tuh anak udah duduk njeplak di tanah. Gua menghela napas panjang, akhirnya ikutan duduk di sebelah dia. Pas gua duduk, rasa sakit di kaki gua akibat ketiban pohon tadi, jadi berasa lagi. Gua sampe meringis saking sakitnya. Untung gelap, jadi Vey nggak tau gua lagi kesakitan.

"Ra,"

"Hmm."

"Haus..."

"Sini mangap!"

"Mau ngapain?"

"Gua kencingin."

Vey nabok bahu gua. "Bangke lo!"

"Lagian elu, udah tau kita di tengah hutan. Ngeluh aus! Lo pikir kita lagi di restoran atau rumah makan? Tinggal angkat tangan, nyebutin menu, terus pesanan dateng. Gitu?"

"Terus gue mesti gimana? Gue haus, kalo emang kita lagi di restoran sekarang, gue pasti udah pesen minum sepuluh gelas buat gue sendiri. Lo nggak gue kasih."

"Ya udah lo tunggu di sini! Gua cari minum dulu."

Gua langsung berdiri lagi. Nyari mata air, tapi nggak ketemu. Untungnya di keremangan malam dengan modal senter seadanya ini gua nemu tanaman yang mengandung air. Ya udah, gua tebas batang-batang sebesar dua ruas jari itu. Terus gua buru-buru balik ke Vey supaya airnya nggak banyak ceceran di jalan.

"Vey, sini mangap!"

"Ih apaan nih?"

"Katanya haus?"

"Ya iya, tapi air gitu nggak ada apa?"

"Kaga ada, Setan. Kalo ada nggak mungkin gua bawa-bawa beginian, yaelah..."

"Emang aman nih?"

"Aman. Mau nggak?"

"Mau..."

Si Vey buka mulutnya, gua diriin batang tanaman itu di atas mulutnya. Air yang ada di batang itu langsung mengucur ke mulutnya. Abis Vey minum, giliran gua yang minum. Yaa, biar gini-gini gua bisa haus juga kali.

"Mau lagi?" tanya gua.

"Nggak. Lega sekarang."

Gua ngangguk. Vey nyeka keringat di pelipisnya. Gua metik beberapa buah mangga yang udah mateng. Vey ngelihat apa yang gua lakuin dengan kening mengerut.

"Lo ngapain?"

"Nyari sesuatu yang bisa dimakan." jawab gua sambil ngupas kulit mangga pake si Udin-pisau gua yang kemana-mana selalu gua bawa. "Mau?"

"Mau lah."

Kita pun makan itu mangga berdua.

"Ini mangga arum manis ya?" tanya Vey.

"Bukan."

"Iya! Ini arum manis."

"Ini tuh mangga jenis Mangifera Indica atau yang biasa disebut mangga gadung. Emang sih, mangga gadung ini sering di mirip-miripin ama mangga arum manis."

"O ya?"

"Iya. Karena bentuknya mirip ama si arum manis, yaitu panjang berlekuk, terus ada paruhnya. Daging mangga yang kuning kemerahan, rasanya manis seger dan wangi, hampir sama kek mangga arum manis. Jadi banyak orang yang terkecoh saking miripnya. Kek yang lu barusan."

"Ada berapa jenis mangga sih di dunia?"

"Ada ratusan. Tapi ada 10 jenis mangga yang terkenal di Indonesia dan manca negara."

"Apa aja tuh?"

"Nih ya, ada mangga indramayu, malgova, chokenan, manalagi, arumanis, golek india, gedong gincu, falan, madu anggur, sama yang terakhir mangga endog alias mangga telor."

"Banyak juga ya. Dari sekian banyak mangga-mangga itu, lo suka yang mana?"

Gua nyengir. "Kalo gua mah suka semuanya. Apa lagi gratis kek gini."

"Yeee dasar dhuafa! Maunya gratisan mulu."

"Helleh, kaya lo juga enggak aja."
"Iya sih."

Kita ketawa berdua.

"Hihihihihihihi...."

Nggak tau dari mana asalnya, tapi yang ketawa nggak cuma gua sama Vey ternyata. Gua sama Vey pandang-pandangan.

"Suara apaan tuh? Vey, lu kentut ya?" tanya gua bloon.

"Mata lo soak! Mana ada kentut suara cewek?" Vey ngedamprat.

Tanpa disangka-sangka dan tanpa diduga-duga dengan begitu tiba-tiba—ah ellah ngomong apaan sih gua! Muncullah sepotong cewek cakep yang bodinya montok, seksi, bohai, semlohai, aduhai, jablai. Lu naksir? Lu naksir? Buruan dah kawinin tuh sundel.

Vey jerit ketakutan. Gua lempar mangga yang gua pegang ke tuh sundel. Tauk dah kena apa nggak. Gua udah keburu nyeret Vey lari. Lagi.

👻👻👻

Vomment please... Engkyu😘

Tersesat (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang