Aku Jingga dan aku suka senja. Kata orang sih senja tapi tak jingga itu hampa, tapi kalau menurutku Jingga tanpa senja lah yang hampa.
Aku menutup buku harianku. Memang sudah menjadi kebiasaanku menulis sambil menatap senja, seperti sekarang.
Rumahku sepertinya sudah didesain khusus untukku. Tempat aku duduk sekarang, di balkon lantai atas. Tepat di sampingnya, pohon kersen menjuntaikan dahannya ke atas tempatku duduk sekarang. Sebenarnya itu pohon tetangga tapi lumayan juga kalau matahari lagi terik, bisa buat berteduh.
"Jingga! Masuk, sudah mau gelap tuh!"
Ternyata ayahku sudah pulang. Ayahku seorang tentara dan tugasnya nggak jauh dari rumah jadi pulangnya nggak sampai malam, jam segini juga sudah sampai rumah. Orangnya sangat mengutamakan kedisiplinan, nggak heran kalau hampir setiap hari aku dihukum karena keteledoranku.
Beda dengan ibuku yang lebih hangat saat diajak bicara, dia seorang dokter yang tentunya sangat sabar menghadapi apapun, termasuk aku.
"Jingga!"
"Iya aku turun!"
Aku balas menyahut setengah berteriak. Ayah nggak suka kalau sampai dipanggil tiga atau bahkan lima kali baru turun, siap-siap saja hukumannya.
Buku harian tadi aku letakkan di atas novel di meja belajarku. Tak seperti kebanyakan orang yang menyimpannya di tempat rahasia, karena menurutku kamarku saja sudah rahasia. Di rumah hanya ada aku, ayah dan ibu. Aku memang anak tunggal di rumah ini jadi buat apa aku rahasiakan toh juga nggak ada yang berminat masuk ke kamarku.
Lalu aku bergegas menuruni anak tangga. Dan kudapati disana sudah ada ayah berdiri dan disampingnya ada seorang anak laki-laki.
Namanya Biru, penampilannya rapi, sangat rapi malah. Jauh berbeda denganku. Tingginya hampir sama sepertiku, mungkin hanya beda 7 cm lebih tinggi dariku.
"Nah, mulai sekarang Biru akan tinggal di rumah ini."
Hah! Ayah yakin? Mengajak seorang anak yang baru dikenal tinggal di rumah ini?
"Emm, ayah tau kamu pasti bingung kenapa ayah membawa dia untuk tinggal disini, tapi suatu saat nanti kamu juga pasti akan tau," setelah bicara ayah hanya menunjukkan yang mana kamar Biru dan bergegas mandi.
🍁🍁🍁
Fajar mulai menampakkan dirinya, menghapus mimpi-mimpi indah malam ini.
Aku segera bersiap pergi ke sekolah pagi ini dan tentunya tak sendiri tapi dengan Biru.
Tapi aku tidak terlalu suka dengan anak itu, baru pagi hari saja sudah bikin kesal.
"Jingga, hari ini kamu berangkanya jalan kaki sama Kinan ya, soalnya mobil ayah lagi di bengkel," Ayah mengeluarkan motornya dari garasi.
Kinan itu sahabatku, tapi kami nggak satu kelas. Aku sering berangkat bareng sama dia. Tapi kalau ayah berangkat agak siangan dikit seperti hari ini, biasanya aku diantar ayah. Tapi gara-gara ada Biru, ayah jadi lebih milih nganterin Biru ke sekolah barunya.
"Tapi kan ayah hari ini nggak berangkat pagi, jadi bisalah nganterin aku," aku menolak pergi dengan Kinan karena hari ini aku harus berangkat pagi.
"Ini kan hari pertama Biru masuk ke sekolah barunya, jadi ayah harus nganterin dia biar nggak terlambat, kan harus ngurusin administrasi dulu," Ayah segera pergi dengan Biru, seakan tak mau lagi terjadi perdebatan denganku pagi ini.
Ayah melambaikan tangannya dan melaju dengan motornya.
Tinggal aku dan Kinan disini, lebih tepatnya Kinan yang sejak tadi bingung dan mulai bertanya-tanya siapa anak laki-laki yang dibonceng ayahku.
Apa boleh buat aku harus berjalan kaki ke sekolah dan mulai bercerita tentang pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikiran Kinan.
🍁🍁🍁
Tepat saat bel sekolah berbunyi. Aku dan Kinan melangkahkan kaki di ruangan paling ujung, kelas 10. Ya, kelas kami memang di sana, sungguh menyebalkan terlalu jauh dari pintu gerbang, koperasi sekolah, apalagi kantin.
Materi pelajaran hari ini tidak seutuhnya masuk ke otakku, pertanyaan tentang siapa sebenarnya Biru masih mengganggu pikiranku.
Pulang sekolah langit tampak mendung, sepertinya akan turun hujan.
Dan benar saja tepat saat aku sampai rumah air mulai menetes dari langit. Hingga sore pun gerimis tetap melakukan tugasnya. Awan kelabu masih betah di atas sana.
"Permisi, aku pulang."
Sepertinya itu suara Biru, darimana saja dia baru pulang. Sudah hampir jam 4.
"Kamu baru pulang, nak?" Ibu menyambutnya ramah.
"Iya bu, tadi teman-teman baruku sibuk berkenalan denganku, bahkan ada yang mengajakku ke rumahnya."
Ibu merangkul pundak Biru dan mengajaknya duduk.
Huh, kalau saja aku yang terlambat pulang, pasti ibu sudah memarahiku habis-habisan.
Ibu melihatku yang terlihat kesal berdiri di ambang pintu ruang tengah.
"Eh, Jingga kenapa kamu berdiri disitu, sini gabung," tawar ibu. "Ibu lihat kamu belum akrab sama Biru ya, sini duduk, kalian tuh harus belajar lebih akrab."
"Emangnya kenapa kalau aku nggak akrab sama dia?" tanyaku.
"Ya... karena kamu sama Biru itu..." tiba-tiba ucapan ibu terhenti, seperti ada yang tertahan. "Mm, pokoknya kalian itu jangan saling diam begitu, kayak ketemu orang asing aja."
Ya, hari ini banyak sekali pertanyaan yang mengganggu pikiranku. Siapa Biru? Kenapa dia tinggal disini? Dan melihat ibu yang menahan ucapannya tadi membuat pikiranku semakin terbebani.
Aku hanya bisa menatap langit kelabu, walau disana tak ada warna jingga yang menghiasi senja kali ini, apalagi jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku.
Kau tahu kenapa senja itu menyenangkan?
Kadang ia merah merekah bahagia, kadang ia hitam gelap berduka. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya.Jangan lupa vomentnya yaa...😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja
General FictionAku selalu suka ketika senja datang. Kau tahu alasanku menyukainya? Senja itu membuatku mengerti arti sebuah kata rela, mengajarkanku menghargai sunyi dan menyadarkanku bahwa terang tak selalu menemani. Ini tentang aku dan senja.