Hari-harinya menjadi berbeda. Harus selalu waspada, selama badai masih ada, ia harus selalu siaga.
Di tengah deretan rumah bergaya sama, Gis sedang melakukan penelitian kebiasaan seorang manusia.
Sudah banyak pertemuannya dengan Dwi. Hanya saja, Gis baru menyadari selama ini laki-laki jupiter itu hanya menemuinya setiap satu minggu sekali.
Sejauh ini, yang didapatkan Gis dari penelitian malam ini hanya sebatas itu. Pun masih simpang siur. Namun, jika dilihat dari kebiasaan Dwi, memang seperti itu.
Ya ampun semesta, sampai kapan kamu akan menyuguhkan bencana seperti ini. Hidup Gis rasanya menjadi tidak tenang.
"Si manusia jupiter itu, kenapa aku jadi kepikiran gini, sih?"
Gis kesal sendiri.
Gulita semakin memakan cahaya. Setelah mematikan lampu utama kamarnya, Gis menyegerakan diri merebah, lalu tidur.
Untuk semesta, sampai ketemu esok. Jangan datangkan Dwi lagi, ya. Bisa-bisa Gis menaruh kecewa.
Satu kerlip bintang menyeruak di antara gelap remang. Kontras sekali. Gis harap ini adalah pertanda baik.
***
Lebih baik tidak usah datang kalau niatnya mengganggu—setidaknya begitulah pendapat Gis pagi ini.
"Bi Ina, ini kenapa manusia jupiter malah dibiarin masuk?" tanya Gis kesal.
"Pagi Puteri Merkurius," sapa Dwi.
"Ngapain?" tanya Gis ketus.
"Dwi lagi ngapain, Bi?" Dwi menoleh tatap Bi Ina.
"Oh, pagi ini katanya Mas Dwi mau antar Gis berangkat ke sekolah."
"Tuh."
"Gak usah. Gis bisa berangkat sendiri."
Gis sudah siap menyuruh kakinya untuk berjalan mengikuti perintah. Sayang seribu saya, kenapa Bunda harus datang di saat yang kurang tepat?
"Pagi Tante." Dwi meraih tangan Bunda lalu mencium punggung tangannya.
"Heh, nggak boleh!" Gis memukul tangan Dwi jasa majalah yang ia gulung.
"Kenapa? Aku kan cuma mau salim sama calon Bunda," kata Dwi.
"Nggak boleh, itu Bunda Gis!" Gis berdiri tepat di depan Bunda seraya berkacak pinggang.
"Sudah-sudah. Dari pada kalian berantem rebutan Bunda, Bunda hukum kalian harus saparan dulu di sini," ucap Bunda.
"Dwi nggak boleh!" Gis lekas mendorong kursi roda Bunda menuju ke ruang makan.
"Ayo Dwi, kamu juga."
"Bundaaaa."
Bunda tenang-tenang saja saat Gis merengek. Lalu di belakang mereka, Dwi tersenyum penuh kemenangan. Semesta memang selalu berpihak padanya.
Sesampainya di ruang makan, Dwi mengambil tempat duduk di samping Gis, sementara Bunda berada di hadapan dua kawula muda.
Dari semua catatan hidup Gis, kali ini ia merasa kesal sekesal kesalnya. Kenapa sih semesta selalu memihak Dwi?
Tuhan, itu tidak adil.
Setelah selesai sarapan, tanpa pikir panjang Gis berlalu begitu saja selepas mencium tangan Bunda dan berucap salam.
"Aduh Bunda, Gisnya sudah pergi. Kalau begitu Dwi susul dulu, ya?"
"Hati-hati. Gis-nya dijaga ya, Dwi," ujar Bunda tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
hipotesis
Teen FictionSedang hati masih tertambat di masa lalu, bertanya-tanya. Apa setiap pertanyaan selalu ada terpasang dengan jawaban?