Gisha mendudukkan dirinya dengan kesal di kursi kafe. Malam-malam begini Gisha lebih baik membaca buku di kamar atau tiduran sampai nanti ketiduran. Kalau saja Surya tak memaksanya untuk datang ke kafe menemaninya ngopi, malas sekali Gisha datang ke tempat ramai seperti ini.
Surya memang sudah ada sebelum dirinya datang. Sudah memesan duluan makanan tanpa menunggunya. Semesta, ini sangat buang-buang waktu. Butuh satu jam dari rumahnya Gisha untuk sampai di kafe ini. Lagi tadi macet di mana-mana.
"Ngapain nyuruh gue ke sini?" tanya Gisha langsung pada poinnya.
"Aduh, Sha, gue ajak lo ke sini itu supaya lo bisa bersenang-senang dikit dari dunia lo yang kelam itu. Yang dipenuhi sama buku-buku dan rumus yang entahlah gue mah gak mau ngerti."
"Gue pulang aja, deh, Sur." Surya langsung menarik tangan Gisha. Gisha mendengus lalu duduk lagi.
"Yah, jangan dong, Sha. Sekali-kali lo harus mengakrabkan diri sama dunia luar."
"Gak penting."
"Itu penting, Sha. Manusia itu makhluk yang saling ketergantungan. Memangnya lo bisa hidup sendiri?"
Gisha menghela napas panjang. Berkali-kali ia dan Surya selalu berdebat tentang masalah ini. Berkali-kali juga mereka tidak menemukan jalan tengahnya. Gisha sudah bosan sebenarnya. Tetapi Surya selalu membahasanya.
"Sur, please. Jangan bahas ini, ya?"
"Ya udah, nggak. Tapi ada syaratnya."
"Bisa gak usah pakai gituan, gak?"
"Gak bisa, Sha. Syaratnya lo gak boleh pulang."
Gisha memutar bola mata malas. "Ya udah. Gue di sini."
"Hari ini kafe ini lagi ulang tahun, lho, Sha. Semua makanannya didiskon limapuluh persen. Jadi hari ini lo gue teraktir."
"Serius, Sur?"
"Pesen, gih."
"Oke, deh."
Gisha pergi memesan makanan. Suasana malam itu sangat ramai. Gisha sampai harus berkali-kali terhantuk bahu orang. Salah satu kekurangan memiliki badan kecil adalah, di saat-saat seperti ini ia tidak bisa bebuat banyak. Sesampainya di sana, Gisha hanya memesan semangkuk Mie kuah dengan sawi dan strawberry milkshake. Setelah itu ia kembali dan duduk dengan Surya lagi.
"Aw!"
"Eh, maaf, Mbak. Aku nggak sengaja."
"Nggak apa-apa."
Gisha hanya menatap punggung orang yang tak sengaja menabraknya tadi dengan kesal. Salah satu malas menerjunkan diri ke dalam lembah keramaian adalah ini. Kalau saja Surya tak memaksanya, ingin sekali Gisha cepat-cepat pulang. Semesta, aku mohon. Jangan jadikan malan ini jadi malam yang panjang, gumam Gisha dalam hati.
"Kenapa, Sha?"
"Itu tadi ada yang nabrak gue."
"Siapa?"
Gisha mengangkat kedua bahunya tak acuh. Setelah mie pesanannya datang, Gisha makan tanpa banyak bicara. Meski pun sedari tadi Surya tak ada henti-hentinya mengganggunya, Gisha membiarkannya. Anggap saja diamnya Gisha adalah ucapan terima kasihnya.
***
Gisha sudah benar-benar tidak tahan dengan kebisingan ini. Pukul 9 malam, panggung dimeriahkan oleh grup band lokal kampus dekat sini. Kata Surya, bandnya sudah cukup tersohor di daerah dekat-dekat sini. Tapi Gisha tak peduli. Mau seterkenal apa pun band itu, bagi yang bukan penikmat musik seperti dirinya tidak akan berpengaruh apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
hipotesis
Dla nastolatkówSedang hati masih tertambat di masa lalu, bertanya-tanya. Apa setiap pertanyaan selalu ada terpasang dengan jawaban?