Bab 2

110 11 10
                                    

buku kimia yang kubawa, dia duduk disebelahku. Tersenyum lebar.

"Tahu nggk zaman pak Habibi banyak yang di sekolahkan jadi ahli nuklir?" sanya Danil padaku, aku menggelengkan kepalaku lantaran memang aku tidak mengetahuinya.

"Kita punya banyak dokter hingga profesor nuklir, dulu disekolahkan pada zaman Pak Habibie, namun sekarang mereka mau masuk masa pensiun, tapi Indonesia belum satupun bisa bangun PLN." jelasnya padaku, aku mengangguk mengerti.

Indonesia memang pernah akan membuat bom nuklir hal ini dikemukakan oleh presiden pertama Ir. Soekarno " bila kita diganggu seluruh rakyat Indonesia akan maju ke depan dan menggerakkan seluruh senjata yang ada pada kita. Sudah kehendak tuhan Indonesia akan segera memproduksi bom atom" yang ia katakan pada kongres muhammadiyah, Bandung, 1965. Bahkan Bj Habibi menyekolahkan para mahasiswa ke luar negri untuk belajar nuklir.

Sayangnya rakyat Indonesia pada saat itu memprotes kebijakan Soekarno. Aku kini semakin kagum pada Danil, aku tidak tahu apa yang tidak ia bisa.
"Aku bakal pergi, Wenn." ujarnya yang membuatku kaget
Ia melontarkan senyumnya padaku" maksutku pergi ke luar negeri. Menurutku peluang sukses lebih terbuka lebar di sana, ya. Bukan mengenai universitasnya.

Aku lihat Indonesia punya banyak Universitas bagus kayak ITB atau Ui, tapi masalahnya pemikiran orang Indonesia itu sempit, okelah kemampuan orang memang beda-beda. Tapi pergaulan juga mempengaruhi cara berpikir kita" Tuturnya padaku, aku melongo mendengarnya bicara, rasanya aku sedang bicara dengan seorang profesor yang tahu banyak hal. Mungkin usianya berbeda denganku, tapi harus kuakui Danil memang cerdas. Aku yakin dia sudah punya pacar. Apa lagi dia tampan cerdas serta kaya.

Seusai belajar di ruang olimpiade aku duduk di dekat lapangan basket, Fajar menghampiriku, aku membuang muka. Fajar tersenyum kecil padaku, ia datang menghampiriku, aku berpura-pura membaca buku. Rasanya aku kesal. Dia terus menatapku dan terus berdiri tepat di depanku, bibirku mengumam menyumpahinya terkena bola basket yang sedang di mainkan temannya. Di terus menatapku, aku menelan ludah menengok ke kanan dan ke kiri seakan mencari seseorang.

Aku berdiri melewatinya yang sembari tadi berdiri menatapku, tak sengaja buku kimia yang kubawa jatuh. Aku berjalan terus tanpa menghiraukan buku yang jatuh.

Sekitar sepuluh langkah Fajar memanggilku. Aku diam mematung, dia menghampiriku menyerahkan buku kimiaku, saat kuraih ia menariknya lagi.

Aku terus meraihnya sampai aku kesal kukilir tangan kanannya, dia kesakitan. Segera kuambil buku itu dan kulepaskan dia. Aku berlalu pergi meninggalkannya dengan tangan yang sakit. Mungkin dia waktu itu hanya kasian mengantarku pulang, mungkin hari inilah sifat aslinya tak lebih dari seorang pengganggu yang menyebalkan. Lagi pula dia itu kan anak basket, pasti dia banyak yang mengejar, belum lagi dia sudah sering kompetisi di berbagai sekolah. Mana ada seseorang memberi perhatian tiba-tiba tanpa sebab apa lagi dia belum mengenalku, mengenal kebiasanku serta sifatku ini.

Harisnya memang aku tidak pernah berasumsi dia memiliki rasa padaku, apa lagi rasa suka.

Tepat jam dua belas lebih aku duduk di bawah pohon dekat lapangan, di tengah terik mentari bersamaan dengan hembusan angin yang membuat gugur daun kering, lelah serta keringat mengucur deras lewat pelipisku. Aku menatap langit, silau kulihat, tak sengaja kuraba sebuah benda, gulungan kertas.

Tampak biasa, aku tak tertarik jadi kubuang. "Srak" suara sepatu, kutengok langsung. Danil, memungut kertas yang kubuang. Sontak aku kaget, tapi menurutku itu sampah dan untuk apa kibuka lagi pula itu hanya selembar kertas

"Kenapa dibuang?" Danil bertanya sambil mengerutkan kening, aku tersenyum
"Buat apa, itu kan cuma kertas?" Jawabku santai
Wenny sebenernya aku suka sama kamu, tapi aku binggung harus gimana ngomong sama kamu.

SCIENCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang