Kembali untuk mengucap kata maaf, harapan yang tak mengindahkan perasaan.
"Kamu berambisi ingin pindah ke Alatas. Apa keputusanmu tidak salah? Kamu yakin dengan keputusanmu itu?" tanya seorang pria dengan sangat berwibawa.
"Yakin!" tegas seorang remaja laki-laki tanpa menampakkan kesan hardik.
Beberapa hari belakangan, ia sering berdebat dengan ayahnya agar keinginan untuk pindah ke sekolah yang ia inginkan terpenuhi. Bukan maksud ia tak suka ataupun tidak betah di sekolah yang sekarang, namun ada sebab mengapa ia ingin pindah. Dengan berbagai pertanyaan yang terlontar, ia berusaha menjawab tanpa sedikit pun hilang pendirian.
"Kenapa harus di Alatas? Kamu tidak puas dengan fasilitas sekolah kamu sekarang, yang jelas-jelas lebih unggul dari Alatas?"
Pria itu terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak penting untuk ia tanyakan, karena ia hanya bingung dengan alasan mengapa putra kesayanganya itu tiba-tiba ingin pindah dari sekolahnya.
"Rendra ingin bertemu dengan kawan lama, Pa. Berkumpul lagi seperti dulu yang pernah Rendra alami bersama mereka, bermain, tertawa, berlarian, layaknya bocah yang tak kenal derita. Hanya bahagia saja yang kami rasakan." Senyum miris terbesit hanya satu ketukan. Entah sebab apa hingga ia menampakan wajah tak bahagia. Sudahlah.
"Rendra juga nggak terlalu suka dengan anak-anak di Instinas, mereka terlalu kaku, bahkan sulit untuk sekedar berbicara santai," jelasnya tanpa pikir panjang.
"Kamu bisa atur janji ketemuan kan? Tidak perlu repot untuk pindah sekolah. Terlebih, kamu tidak perlu menuntut kenangan masa lalumu itu. Seharusnya kamu lebih tertarik pada kenangan baru kan? Masa depanmu," tutur sang Ayah. "Kenangan biarlah menjadi simpanan. Jika berharap akan terulang indah kembali, justru nantinya kamu terjebak dalam harapanmu sendiri. Tidak ada yang tau kan? Indah atau beralih buruk."
Mendengar penuturan sang Ayah, Rendra berpikir itu memang benar. Namun, memang tidak ada yang tahu kan? Mungkin akan terulang dengan indah bahkan mungkin saja lebih indah dari yang sebelumnya.
"Papa benar. Dan tidak ada yang tau kan? Sebesar apa keinginan Rendra sekarang," ucapnya sedikit parau mencoba berusaha berpegang teguh pada pendiriannya.
"Papa berharap kamu bisa menjalani pendidikan sekolah dengan baik, unggul, memiliki masa depan cerah, dan tidak berurusan dengan anak-anak begundal. Papa juga bisa mengontrol kamu di sekolah, bagaimana berkembangan mapel bidang kamu? Kenaikan prestasi kamu atau apapun itu. Papa berharap banyak padamu, Devan."
Mendengar nama itu disebut-bahkan lebih tegas dari biasanya-rasa muak menyergap padanya. Ingin sekali ia berontak protes. Namun apalah daya, dirinya sudah terlalu lelah untuk membujuk ayahnya yang sifatnya memang sulit untuk dibantah. Menyerah, hanya itu yang mampu ia lakukan.
"Terima kasih atas waktu yang telah Anda luangkan di tengah kesibukan Anda, " kata Rendra sembari menunjukkan sikap formalnya lalu berlenggang keluar ruangan meninggalkan Ayahnya dengan raut wajah tak menyenangkan.
Narendra Devano Bramantyo, putra sulung dari keluarga Bramantyo. Ayahnya pemilik perusahaan ternama yang berkembang di bidang bisnis perdagangan produk elektronik. Kehidupannya tak ada yang istimewa, sebab alur hidupnya pasti ditentukan pria yang bisa dikatakan orang tua tunggalnya. Rendra tidak pernah membantah apapun yang dikatakan oleh Ayahnya, sekalipun itu mengancam kebebasan dan kebahagiaan hidupnya. Ia selalu menurut terhadap setiap perintahnya. Ia juga tidak pernah meminta apapun, terkecuali kali ini permintaannya hanya satu: Memperbaiki kesalahan masa lalu.
Dia di Alatas, Pa ... Devan hanya ingin melindungi orang yang Devan sayang, maaf.
°°°

KAMU SEDANG MEMBACA
AKAR
Teen FictionIni kisah hidup mereka masing-masing, yang justru berakar menjalar menyeruak sampai dalam hingga mereka bersatu bersama, tumbuh menjulang menjadi pohon utuh yang kokoh. Sampai pada masanya, Apa yang akan terjadi jika salah satu dari mereka pergi?