Prelude

165 15 2
                                    

Namanya Tatjana, sering dipanggil Tata atau sayang juga boleh, katanya. Rambutnya berwarna hitam, tidak terlalu panjang, dan berbau sebuah merk shampoo terkenal di Indonesia, kelir. Orangnya tidak cantik, karena kata cantik terlalu "dangkal" untuk menggambarkan seorang Tatjana Rusadi.

Kenapa terlalu dangkal? Karena Tata dapat berteman dengan siapapun. Ya, siapapun. Termasuk para makhluk tak kasat mata yang ada dirumah dan kampusnya. Special, kan?

Kemampuannya ini didapatkannya 8 tahun lalu, ketika ia tidak sengaja terpeleset dari tangga dirumah neneknya.

Dan bukan hanya itu saja ajaibnya seorang Tata. Berkat para temannya, ia juga bisa tahu bagaimana cara seseorang akan meninggal.

Tidak ada seorangpun yang mengetahui hal ini kecuali orang tuanya, abangnya, dan kedua sahabatnya. Senja Adiwarna dan Naura Larasati. Meskipun faktanya ia dan Senja tidak sedekat ia dan Naura, tapi setidaknya dia harus berbagi rahasia itu ke satu orang cowok, dan satu orang cewek. Biar adil, katanya.

Tahun ini adalah tahun pertamanya menjadi seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Berbekal keberanian yang tidak seberapa, Tata nekat merantau ke kota lautan api itu, dengan alasan "Pokoknya aku mau satu kampus sama Bang Dinar."

Begitu menjajakan kakinya di Bandung, Tata dibikin terkejut karena dia dipertemukan kembali dengan Senja yang ternyata akan satu kampus dengannya.

"Jangan bilang lu kuliah disini?"

"Betul sekali. Gue lanjut disini juga. Surprise?"

"Surprise, mbah lo. Males banget bareng lu lagi."

"Astaga, Ta. Mbah gue udah meninggal, kan pernah ketemu sama lo."

"Oh iya, sorry. Tapi kita gak satu jurusan kan, Ja?"

"Apakah gue terlihat sepinter itu buat jadi anak biomedik?"

Tata menanggapinya dengan gelak kecil sambil berlalu melewati Senja yang juga akan bergegas pergi ke gedung fakultasnya, yaitu arsitektur.

T A T J A N A

Ternyata hidup sebagai anak rantau cukup berat buat gue. Ada beberapa alasan yang enggak bisa dianggap remeh, diantaranya;

1. Masakan rumah, yang dulu sempat gue sia-siakan dengan lebih memilih pergi kerumah makan ayam dengan logo kakek senyum.

2. Air. Dulu, gue nggak suka mandi karena males. Padahal airnya gratis. Sekarang, gue selalu gerah tiap pulang kuliah, rasanya sayang banget mau mandi karena airnya bayar sendiri.

3. Abang Dinar, alias si rese kesayangan nyokap. Meskipun gue masih satu kampus sama abang, tapi ada yang beda aja. Anak rantau pasti ngerti.

Ditambah, gue agak nyesel karena udah sok-sokan ngambil jurusan teknik biomedik yang ternyata sanking susahnya bikin gue jadi pingin nikah muda aja. Setiap hari selalu ada laporan yang harus gue selesaikan, ada presentasi yang harus gue ketik dan pahami, dan rentetan tugas lainnya yang bikin muka gue tambah paripurna jeleknya.

Kurang lebih tiga bulan berkutat dengan semua kesibukan yang bikin gue dikit-dikit ngatain dosen, akhirnya ada sesuatu yang menarik dari jurusan gue.

Namanya Gavin. Gavin Fajar Rivaldi lengkapnya. Anak rantau dari Tangerang Selatan. Sejurusan sama gue tapi beda kelas. Dengan tinggi sekitar 175cm keatas plus rambut tanpa polesan pomade bikin dia keliatan kucel tapi menarik.

Cerita rantau gue akan dimulai sebentar lagi, sampai gue bisa dapetin nomer whatsupnya.

G A V I N

Jadi anak rantau itu enggak susah asalkan lo punya uang yang cukup, kendaraan, dan juga rokok.

Salah satu alasan kenapa gue pilih jurusan yang dihindari oleh sebagian besar remaja pasca SMA adalah, supaya gue bisa ngotak-ngatik rokok, tahu seberapa bahayanya, lalu berhenti. Gue jelas tahu kalau rokok itu gak sehat, dan bikin yang miskin makin miskin. Tapi ketika lo merokok, beban yang lo pikul seolah-olah keluar bersama asap yang lo hembuskan. And that's all I need.

Kalau lo berpikir gue adalah anak korban perceraian, maka lo salah. Gue besar diantara keluarga yang utuh. Gue punya bunda, ayah, dan satu kakak kembar perempuan. Gavina Ivanka.

Hidup berkecukupan bersama kedua orang tua dan saudara, bisa jadi adalah hal yang diinginkan sama banyak orang saat ini. Tapi enggak buat gue. Ayah adalah salah satu orang paling tegas yang gue tahu, dan sanking tegasnya, seringkali Ayah ngucapin kata-kata yang enggak sepantasnya diucapin. Yes, you're right. He's that kind of abusive parent.

Alasan kedua gue memilih jurusan ini adalah, gue kepingin nentang keinginan bokap untuk selalu nurutin dia. Gue ingin sukses dibidang gue, bukan dibidang orang tua gue sebagai pengusaha.

Jadilah, Gavin si bocah rantau. Walaupun Bandung dan Tangerang enggak sejauh itu sih.

Kisah rantau gue sudah dimulai dari berbulan-bulan lalu, dan masih gini-gini aja.

I Can Smell Your DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang