Prolog
Gerimis membuatku takut. Saat gerimis aku selalu menerima berita yang membuat duniaku runtuh. Saat gerimis ibuku mengucapkan selamat tinggal dengan napasnya yang terengah-engah. Saat gerimis aku mendengarkan berita tentang kematian saudari kembarku Adinda.
Aku merebahkan kepalaku digundukan tanah yang masih basah. Tak ada keluarga yang mencoba memelukku menahan rasa sakit akibat ditinggal saudariku tercinta. Tak ada Bibi dan Paman yang mencoba membujukku untuk pulang. Aku menangis dan terus menangis namun tidak dengan bocah kecil berumur tiga tahun yang tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Arumi menatapku dengan bingung dalam diam. Bibir mungilnya memilih untuk tidak bertanya dan hanya diam mematung disebelahku. Mengapa Adinda harus pergi dan meninggalkan Arumi kecil yang masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya.
Adinda, kakakku tercinta aku pernah marah dengan semesta karena kau mencintai pria yang sama denganku. Adinda kau berjanji akan bahagia setelah aku pergi dan mengalah untuk sekian kalinya demi kebahagiaanmu.
Kenapa kau pergi? Kenapa? Jika bisa aku ingin menantang semesta hingga kau segera kembali dan tersenyum padaku. Kenapa tidak salah satu dari kalian yang tetap berpijak dibumi dan menatap mentari bersama Arumi. Aryo kau masih saja egois, hingga membuatku terluka dan ikut pergi bersama belahan jiwamu menghilang tanpa ada kabar. Hidup atau kamu telah tiada seperti dia yang tidak bisa aku benci.
Dua jam aku menangis hingga Arumi tertidur disampingku. Aku harus bagaimana?. Hanya Arumi yang aku miliki sekarang. Ayah...andai kau menampakkan wajahmu kepadaku ingin kubagi deritaku dan akan sembuh jika kau berkenan untuk memelukku.
Aku menghembuskan napas kasarku dan menghapus air mataku. Jika aku terus menangis aku dan Arumi hanya akan mendapatkan derita. Jika aku terus mengeluh cobaan ini tidak akan membangunku untuk berjuang demi kehidupan.
Arumi membuka matanya karena ia terbangun karena germisi mengganggunya "Ma, udah nangisnya Lumi masih ngantuk" ucapnya. Aku mengelus pipi montoknya. Ia tidak mengerti siapa yang kutangisi. Lumi mereka kedua orang tuamu. Aku Tantemu bukan ibumu. Ingin sekali aku mengucapkannya tapi aku tahu anak sekecil itu tidak akan mengerti jika aku ibunya karena wajah Adinda dan wajahku sama persis. Wajahku tidak ada bedanya, hanya didadaku ada tahi lalat dan Adinda tidak memilikinya. Adinda yang modis dan feminim sedangkan aku tomboy.
Andai saja kedua orang tua Aryo menyayangi Arumi mungkin Arumi bisa mengenal opa dan omanya tapi pernikahan Aryo dan Adinda tidak direstui membuat mereka tidak ingin mengenal Arumi. Aku melihat Arumi membuka matanya.
"Ma, Lumi capek" ucapnya menatapku dengan air mata yang tergenang. Jangan nangis nak, Mama akan melakukan apapun agar kamu bahagia.
"Kita pulang nak!" ucapku memegang tangan mungilnya dan mencoba untuk tersenyum.
"Mama Lumi janji nggak nakal lagi. Mama boleh kok jalan-jalan sama teman-teman mama kalau Lumi ke sekolah" ucapnya membuatku tersenyum. Maaf sayang Mama terpaksa menitipkanmu di penitipan anak jika Mama bekerja.
Aku menaiki taksi menuju rumah kontrakkanku, tak ada peninggalan apapun untuk Arumi hanya satu tas berisi bajunya. "Mama lumahnya kecil" ia menatap kosanku yang memang hanya memilki satu kamar, dapur dan toilet. Maaf nak Mama tidak bisa memberikan rumah yang layak untukmu.
"Mulai sekarang Lumi tinggal disini sama Mama!" ucapku.
"Papa?" tanyanya menatapku dengan tatapan polosnya. Tenggorokan keluh, jika aku mengatakan jika ayahnya sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Saat kecelakaan Aryo dibawa keluarganya. Aku sudah berusaha mencari informasi tapi keluarga kaya itu menutup semua informasi mengenai Aryo.
"Papa pergi ke tempat yang jauh nak" jelasku.
"Papa kapan pulang?" Lumi mengkerucutkan bibirnya.
"Nanti kalau Papa sudah banyak uang" ucapku.
"Papa..hiks...hiks...Papa...hiks...hiks..." teriak Lumi membuatku bingung. Arumi masih membutuhkan sosok seorang Ayah dan aku tidak ingin Lumi tumbuh tanpa kasih sayang Ayah seperti aku dan Adinda.
"Lumi diam nak nanti tetangga kita marah!" ucapku.
Tok...tok...suara ketukan pintu membuatku segera membuka pintu sambil menggendong Lumi.
"Arin...kok ribut banget sih? Anak siapa ini?" tanyanya terkejut melihat kehadiran Arumi dikamarku.
"Papa hiks....hiks...".
"Dia anak Dinda?" tanya Inggrit melihat kemiripan wajah Arumi padaku.
"Iya..." ucapku.
"Kenapa dia disini?" tanya Inggrit penasaran.
"Kemarin, Aryo dan Dinda kecelakaan. Dinda meninggal dan Aryo....aku tidak tahu" jelasku.
"Innalilahiwainalilahi rojiun" Inggrit segera memelukku.
Satu-satunya sahabatku itu hanya Inggrit. Dia teman seperjuanganku saat SMA sampai kuliah. Dia bekerja disalah satu bank swasta dan berbeda denganku yang bekerja disalah satu TV swasta. Aku bekerja sebagai tim kreatif iklan dan program acara TV.
"Sejahat-jahatnya mereka berdua masih juga jahat setelah meninggal" ucap Inggrit membuatku mengerutkan dahiku karena bingung apa maksudnya.
Dia menatapku dengan sendu "keluarganya Aryo pasti tidak akan mau menerima anak ini dan lo yang jadi tumbal" ucap Inggrit membuatku mengela napasku karena aku tidak keberatan jika harus membesarkan Arumi. Arumi satu-satunya keluarga yang aku miliki sekarang.
"Astagfirullah Nggit. Dia sekarang akan menjadi anakku Nggit...aku akan merawatnya!" ucapku sambil mengelus pipi montok Arumi.
Inggrit meneteskan air matanya "Terbuat dari apa hatimu Rin, kalau aku jadi kamu mungkin aku....maaf hiks...hiks..." Inggrit memelukku dengan erat.
"Gue janji bakal bantu kamu ngebesarin dia" ucap Inggrit.
"Makasi Nggrit...". Ucapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arinda (on Going)
RandomTak pernah aku bayangkan akan kehilangan dua orang yang sangat aku sayangi. aku menangis terakhir kali saat ibu pergi meninggalkan kami namun saat ini air mataku kembali terjatuh tak bisa kutahan saat kembaranku dan suaminya meninggalkanku bersam...