hampa

24 3 0
                                    

28 Januari, tahun 2018.

Hari yang seharusnya menjadi hari yang paling indah bagi Ratih berubah menjadi hari yang akan terus tersimpan dalam memori buruk di kepala Ratih. Hari itu, Ratih dan keluarganya pergi mengunjungi rumah kakek dan neneknya di Puncak, Bogor. Hari itu cuaca sedikit mendung, gerimis menimpa kota dari tadi pagi. Keluarga Ratih berangkat pada jam 07.00 pagi, menembus gerimis yang menghujani kota, mereka tidak tahu bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir Ratih melihat orang tuanya bernapas.

Jalanan padat, sangat ramai oleh orang-orang yang juga memutuskan pergi ke Puncak. Ayah Ratih mulai merasa tidak sabaran, ingin sekali ia cepat-cepat ke rumah orang tuanya. Hingga akhirnya Ayah Ratih berbelok ke jalan kecil menuju arah hutan.

"Ayah, kenapa kita berbelok?"

"Sudahlah diam saja, Ayah tahu jalannya."

Jalanan yang dilewati mereka licin, basah karena gerimis. Mobil mulai sering terpeleset karena licinnya jalanan. Hingga akhirnya, mobil tersebut terpeleset jatuh ke dalam jurang.

Ratih selamat, namun kedua orang tuanya tidak. Dan Ratih harus kehilangan kedua matanya. Ratih diselamatkan 2 hari setelah kecelakaan tersebut. Setelah ia diselamatkan, matanya segera dioperasi agar tidak mengalami infeksi. Dia juga melakukan transpaltasi mata, butuh waktu 2 bulan masa penyembuhan baru ia bisakeluar dari rumah sakit.

..........

28 Maret, tahun 2018.

Terpaan sinar matahari pagi menyusup dari balik tirai jendela. Sapuan angin sepoi-sepoi berpadu dengan kicauan burung seakan menyambut datangnya pagi. Hari ini, Ratih bisa keluar dari rumah sakit, kembali ke rumahnya. Namun, apa gunanya bila ia kembali kerumah? Kedua orang tuanya sudah direnggut oleh maut, kakek dan neneknya sudah tidak bisa mengurusnya lagi karena mereka sudah sangat tua. Semua harapannya sudah hilang, hampa, tak ada yang bersisa.

Pintu kamarnya dibuka, seorang suster masuk sambil membawa sebuah nampan berisi sarapan pagi hari ini. Pintu terbuka lagi, seorang dokter masuk kedalam kamarnya, memeriksa keadaan.

"Bagaimana kabarmu Ratih?"

"Sudah lebih baik, dokter"

Dokter itu tersenyum kecil, kemudian ia dan suster yang tadi meninggalkan ruangan tersebut menyisakan Ratih sendirian. Hari ini Ratih bisa berkeliling rumah sakit, melihat keadaan. Ratih meningalkan ruangannya, ia menuju taman rumah sakit, mencari udara segar.

Sepi. Itulah keadaan di taman pagi itu. Namun itulah yang diharapkan Ratih, sendiri, tanpa ada yang menemani. Ratih menaiki ayunan, menggoyangkannya sedikit. Hari ini udara sangat segar, sinar matahari yang hangat dan juga kicauan burung membuat suasana sangat damai dan tenang. Ayunan Ratih bergerak sedikit lagi, digerakkan oleh Ratih. Ia merasa sangat nyaman berada disana.

"Halo"

Tiba-tiba sebuah suara menyapanya, Ratih sedikit terkejut. Ia menoleh kebelakang menyadari ada seseorang selain dirinya di taman ini.

"Halo, siapa namamu?"

Seorang gadis dengan terusan putih menjuntai berdiri dibalik punggungnya. Rambut pirangnya tertiup angin membuatnya terlihat sangat anggun. Mata birunya terlihat seperti lautan lepas. Kulitnya nyaris sepuih salju, bahkan bisa dibilang pucat. Senyumnya sangat manis seperti apel yang ranum. Parasnya sangat mirip dengan gadis Belanda.

"Namaku Ratih"

"Namaku Samantha, salam kenal"

Samantha, gadis yang Ratih baru kenal pagi ini mengulurkan tangannya, meminta berjabat tangan. Ratih juga mengulurkan tangannya, berjabat tangan dengan Samantha. Tangannya sangat dingin, sedingin salju.

hampaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang