Cerpen Anak: Anak Kuli dan Alexandria

71 1 1
                                    

Aku seorang anak kuli. Cita-citaku, aku ingin membangun pusat ilmu pengetahuan dunia.

Ayahku kuli. Kakekku kuli. Kakek dari kakekku pun kuli. Pekerjaan sehari-hari, menata batu bata, membangun rumah untuk orang lain. Apakah aku juga akan jadi kuli kelak? Tanyaku dalam hati sambil menutup buku pelajaran SMP kelas 1.

Profesi kuli lekat dengan kemiskinan. Selekat sunscreen untuk melindungi kulit dari sinar matahari. Sejak bayi aku sudah makan raskin alias beras miskin. Harga murah, namun kualitas kelas bawah. Seringkali saat aku makan nasi, "KREK!" tergigit batu kecil yang ada di dalamnya. Rasanya ehhmmm...

Suatu malam di atas kasur kapuk yang masih belum lunas cicilannya, aku bertanya kepada bapakku, "Pak, kenapa sih kita miskin?"

Bapak menjawab sambil mengelus rambutku, "Nak, meskipun kita miskin, yang penting kita bahagia. Kita harus bersyukur. Kita masih punya atap yang melindungi kepala kita dan masih bisa makan setiap hari. Masih banyak orang di luar sana yang tidak punya rumah dan tidak bisa makan. Bahkan kalau bisa makan, makannya nasi aking. Nasi sisa yang dikeringkan untuk pakan ternak."

"Tapi mengapa keluarga Adul, Geofani, Marwah, dan lain-lain tidak seperti kita?"

"Nak, janganlah kamu iri dengan mereka."

"Andi tidak iri pak, tapi apakah miskin itu takdir?"

Bapak menghela nafasnya, "Andi, bersyukurlah dan terimalah situasi yang ada. Apabila hati kita menginginkan banyak hal, itu adalah sumber ketidakbahagiaan. Karena kita tidak mampu mendapatkannya, kita jadi stress."

"Bila menginginkan sesuatu itu salah, apakah kalau Andi menginginkan bibi bisa dirawat di rumah sakit supaya kanker payudaranya sembuh, itu salah? Bibi hanya bisa terbujur lemah di rumahnya saja, karena kita miskin. Apakah kita tidak boleh menginginkan orang yang kita cintai bisa sembuh?" protesku.

Bapak terdiam dan menepuk pundakku. Ia menggigit bibirnya sesaat, kemudian berkata. "Kakekmu, ayahmu hanya tahu cara menyusun batu, menyemen, menanam tiang pancang, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu. Keahlian ayah dan kakek hanya bisa mendapatkan apa yang kita peroleh sekarang. Orang tua Adul, Geofani, Marwah mungkin mereka tahu keahlian yang bisa mendapatkan uang lebih."

Aku terdiam dan tersadar kami miskin akibat ketidaktahuan kami.

Malam itu aku tidur dengan perasaan marah. Aku merasa terbelenggu kemiskinan karena keterbatasan pengetahuanku.

Keesokan hari di sekolah, ibu guru sejarah bercerita tentang sebuah perpustakaan yang menyimpan pengetahuan dari seluruh dunia.

"Dahulu di zaman Mesir kuno sebelum Masehi, ada sebuah perpustakaan yang bernama Alexandria. Para ahli ilmu dari berbagai cabang pengetahuan berkumpul dan menuangkan pengetahuan mereka ke atas kertas. Pengetahuan itu begitu banyaknya hingga ada lebih dari 400.000 buku atau gulungan kertas tercipta. Semua orang boleh belajar apa saja di sana. Akan tetapi sayang sekali semua ilmu yang beharga itu kini lenyap tak berbekas. Perpustakaan Alexandria dibakar oleh Kaisar Yulius dari Romawi. Diprediksi karena hilangnya ilmu pengetahuan yang bernilai itu, peradaban manusia mundur 1000 tahun. Bila perpustakaan itu tidak terbakar, mungkin Christopher Columbus, penjelajah Italia yang menemukan benua Amerika dengan perahu, sudah bisa pergi ke bulan dengan roket. Bahkan sebelum James Watt menemukan mesin uap pada tahun 1700an, ilmu itu sudah ada di perpustakaan itu."

Woow... decak kagum kawan-kawanku.

Sementara aku merasa sedih mendengar akhir dari cerita itu. Ketika aku di sini kekurangan ilmu dan menjadi miskin, di sana ilmu berlimpah ruah, tapi dimusnahkan.

Cerita itu begitu menggugah benakku. Ketika aku sedang di toilet sekolah dan buang air besar, sebuah ide gila datang. Aku akan bangun kembali perpustakaan Alexandria. Aku begitu takut dengan ide ini tapi di saat bersamaan aku sangat bersemangat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 25, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerpen Anak: Anak Kuli dan AlexandriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang