Bagian 3 : Maaf yang Tidak Pernah Terucap

8K 1K 34
                                    

🍁🍁🍁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍁🍁🍁


Setelah berjam-jam berdiri, Jimi memutuskan duduk di anak tangga untuk melanjutkan rutinitasnya menunggu kepulangan Yogas. Sedikit melelahkan memang, karena Jimi tidak pernah tahu kapan Yogas akan pulang. Bisa jadi sore, atau malam, atau bahkan keesokan harinya. Tapi dengan senang hati Jimi akan melakukannya meski itu akan membuat kakinya kesemutan seperti sekarang.

Hari ini tidak ada hujan, tapi sebagai gantinya, ada bulan purnama yang bersinar terang. Jimi memandanginya cukup lama sembari memijat kakinya.

Sebab selain hujan, dia juga menyukai bulan.

Selalu.

Bagi Jimi, bulan itu sederhana dan menerima diri apa adanya. Menerima walau hanya bertugas memantulkan cahaya dari matahari dan tidak memiliki cahaya sendiri. Menerima walau ada atau tidak adanya ia, malam akan tetap menjadi malam hingga pagi datang.

Sederhananya, Jimi ingin menjadi seperti bulan. Dan tentu saja, Yogas adalah mataharinya. Sumber energi bagi setiap manusia, hangat dan tenang. Tidak peduli meski Yogas tidak lagi menjadi matahari yang Jimi kenal, Jimi akan tetap menjadi bulan yang setia kepada matahari.

Sebab matahari dan bulan tidak perlu berteriak untuk menunjukkan pada semua orang bahwa mereka saling membutuhkan.

Hanya saja, apakah keberadaan bulan begitu penting bagi matahari? Apa sama pentingnya seperti Yogas yang memakinya setiap hari? Tiba-tiba saja, untuk pertama kalinya dalam hidup Jimi mulai memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam kepalanya.

Jimi tidak bodoh untuk menyadari bahwa Yogas mulai membencinya sejak lama. Yogas membencinya karena dia cacat. Masalahnya, apapun yang Yogas benci, Jimi akan turut membencinya.

Biarlah dia jadi manusia yang naif. Sebab tidak ada yang mengenal Yogas sebaik Jimi mengenalnya.

Belasan tahun menghabiskan hidup bersama, sikap Yogas berubah dengan cepat karena cacian yang seharusnya diberikan pada Jimi harus ikut dia terima. Jimi tahu bagaimana sulitnya keadaan Yogas pada saat itu. Dia seharusnya bisa menghabiskan banyak waktu bersama teman-temannya tanpa perlu takut dengan pandangan orang lain terhadap Jimi.

Tapi jika Jimi harus pergi dari Yogas dan membiarkan Yogas menjalani hidup dengan lebih baik, Jimi pun tidak akan serta-merta menyetujuinya. Rasanya berat jika harus melepas Yogas begitu saja. Karena dari segala ingatannya tentang Yogas, yang membuat Jimi selalu memilih untuk bertahan adalah sambutan hangat yang Yogas berikan padanya belasan tahun silam saat pertama kali Jimi datang.

Senyumnya, binar matanya, genggaman tangannya. Semua masih terasa begitu nyata bagi Jimi. Yang paling membuat Jimi terenyuh, ketika Yogas tetap memperlakukannya dengan baik meski tahu keadaan Jimi tidak sama sepertinya. Yogas tetap mengajaknya bermain dan mengajarinya banyak hal. Seakan kedatangan Jimi memberikan banyak warna baru dalam hidupnya. Sayangnya masa-masa itu sudah berakhir, dan kini yang bisa Jimi lihat hanya bagaimana Yogas membencinya setengah mati.

MY IDIOT BROTHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang