Sering Suri melihat ibu-ibu ramai berkumpul sore-sore, kebanyakan sudah sepuh tapi ada juga yang masih muda. Mereka berjejer di pinggir jalan Margo Mulyo sambil menenteng keranjang dan menyampirkan kain di bahu. Tidak berapa lama kemudian, sebuah bus Kopaja reyot datang lalu membawa mereka pergi. Begitu terus setiap hari. Karena penasaran Suri lalu bertanya kepada Uda Jeki.
"Siapo mereka, da?" Tanya Suri saat ia sedang melihat ibu-ibu itu berkumpul di depan warung makannya.
"Buruh gendong di Beringharjo, datang jauh dari Kulonprogo. Kalau wa'ang main kesana pasti banyak bertemu ibu-ibu seperti itu." Jelas Uda Jeki sambil mengelap piring yang baru saja dicuci.
"Buruh gendong?" tanya Suri sambil mengernyitkan dahi tidak paham.
"Yo macam kuli angkutlah kalau di Bengkulu." Sahut Uda Jeki.
"Perempuan, da? Emang kuek?" Kata Suri tidak percaya. Terbayang olehnya kuli angkut di Pasar Minggu Bengkulu, tubuhnya liat dan kekar. Tidak ada satupun yang perempuan.
"Cubolah wa'ang tengok dewek, barulah mungkin wa'ang percaya."
Ditengah kesibukan mereka berdua, seorang nenek datang memasuki warung makan. Tubuhnya kurus, seperti tulang yang dibalut kulit cokelat tua. Rambutnya putih diikat ke belakang. Mengenakan kaos partai oblong dan celana pendek lusuh, penampilannya sedikit lucu. Ditambah senyum sumringah dengan gigi ompong pada wajah keriputnya. Ia membawa keranjang dan kain, sepertinya nenek itu salah satu dari rombongan ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan warung makan.
"Koyo biasane, Mas. Sego ayam loro yo." Katanya sambil memamerkan deretan giginya yang tidak lengkap.
"Njih, Mbah." Jawab Uda Jeki membalas senyuman nenek itu. Dengan sigap Uda Jeki membungkus dua nasi ayam dengan sambal tempe dan kuah santan, setelah selesai Uda Jeki memberikannya kepada nenek itu.
"Matur Suwun, Mas." Kata nenek itu sambil menyodorkan dua lembar uang sepuluh ribuan.
"Nggak usah Mbah, kok pake bayar segala. kaya nggak kenal aja." Uda Jeki menolak uang yang disodorkan nenek itu, tetapi ia bersikeras.
"Lho kan namanya saya belanja disini, yha harus bayar! Mas ini gimana to, he he he." Nenek itu tertawa melihat sikap Uda Jeki.
"Mbah, kan sudah dibilangin Mbah boleh makan apa saja di warung saya, gratis!" Uda Jeki bersikeras menolak uang nenek itu.
Nenek itu hanya terkekeh mendengar perkataan Uda Jeki, "he he he, nggak bisa. Saya harus bayar, bagaimana pun juga saya pelanggan di sini." Nenek itu kembali menyodorkan uang sepuluh ribuan kepada Uda Jeki. Dengan muka tidak enak Uda Jeki menerima uang itu.
"Matur suwun, Mas." Kata nenek itu lagi.
"Sami-sami." Balas Uda Jeki, ia menatap punggung nenek itu sampai ia menghilang di tengah kerumunan ibu-ibu di depan warung makan.
"Uda kenal?" Tanyaku penasaran karena Uda Jeki dan nenek itu terlihat akrab.
"Mbah Marinah, salah satu buruh gendong di Beringharjo."
"Kenapa Uda tidak mau mengambil uangnya tadi?"
"Nanti wa'ang tahu sendiri." Jawab Uda Jeki singkat sambil tersenyum. Ia lalu melanjutkan mengelap piring.
Suri menggeleng, ia heran. Uda Jeki dulu terkenal kisit saat masih berjualan di kantin kampus Universitas Bengkulu, lantaran ia suka mencatat dengan cermat orang-orang yang suka berhutang di kantinnya. selain itu, ia juga suka menagih hutang dengan keras. Melihatnya lembut seperti itu membuat Suri geli, seperti bukan Uda Jeki yang dulu ia kenal. Meski demikian jika bisa mengambil hatinya Uda Jeki sangat baik, seperti kepada Suri. Dengan senang hati ia menampung bujang tanggung itu meski bukan saudara kandung dan juga bukan sesama orang Minang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mbah Marinah
General FictionSelamat datang di Kampung Api! tempat di mana para penduduknya datang dari penjuru negeri, memutuskan berkumpul dan sepakat buat membakar tabir realitas kehidupan. Awas! penduduk Kampung Api akan menyeretmu masuk ke seluk beluk kenyataan yang tidak...