Auman itu lagi-lagi terdengar, semakin lama semakin mendekat. Suara pekik siamang yang gusar menambah cekam malam dingin yang tengah diamuk badai itu. Jau gemetar hebat, ketakutan setengah mati. Sambil memanggil-manggil nama Bio yang menggigil agar tetap tersadar ia merapal doa dalam hati. Berharap malam segera berakhir.
Fajar menjelang, Jau langsung berlari menembus kebun kopi buat memanggil orang-orang di dusun karena Bio sudah tidak sadarkan diri sejak subuh. Ia masih bernafas saat Wak Jayak mendekatkan jari telunjuk ke hidungnya. Bio segera dibopong warga dusun untuk dibawa ke rumah.
Bio dibaringkan di tengah-tengah ruangan. Ibunya menjerit-jerit histeris. Warga dusun ramai mengitari tubuh lelaki itu sembari berbisik-bisik. Wak Jayak lalu meminta segelas air putih yang kemudian ia bacakan ayat-ayat. Air putih tadi ia usapkan pada wajah Bio kemudian sedikit demi sedikit ia minumkan.
Bio lalu siuman, Ibunya langsung menghambur pada bujang semata wayangnya itu. "Bioa, syukur nak, syukur la siuman" kata ibunya sambil terisak. Jau bernafas lega, jika Bio sampai meninggal ia tidak bakal sanggup hidup dengan rasa bersalah. Terutama pada Cik Mini yang berpuluh tahun membesarkan Bio sendirian dengan kondisinya yang kurang waras.
Wak Jayak menghampiri Jau, ia tatap dalam-dalam kedua mata lelaki muda itu. Kemudian ia tarik Jau dari kerumunan, di dapur Wak Jayak berbisik. "Ado apo malam tadi?"
Jau meneguk ludah saat teringat malam yang mengerikan itu. "Caknyo , malam tadi kami disapo muning, Wak," ucapnya lirih, seperti takut terdengar orang lain.
"Muning Jagok Setahun maksud kau?" Jau mengangguk.
Wak Jayak terdiam, muka keriputnya semakin berkerut saat ia memikirkan sesuatu, "kau cak mano? Idak ado meraso berek apo sakit?"
"Idak ado, wak." Jau menggeleng, ia memang merasa tubuhnya baik-baik saja.
"Syukurlah, sudah ko pegilah mandi laju ambik air sembahyang biar badan jadi ringan."
"Iyo, wak."
Wak Jayak segera menuju rumah Tuk Sakut setelah membubarkan warga di rumah Cik Mini. Sebagai kepala dusun, Tuk Sakut harus tahu kejadian hari ini. Wak Jayak langsung menuju ke halaman belakang karena ia tahu pagi-pagi begini Tuk Sakut biasanya sedang membersihkan kandang ayam.
Seperti sudah tahu ada yang salah, Tuk Sakut langsung berdiri menyambut kedatangan Wak Jayak dengan wajah gusar. "Bio anak Cik Mini malam tadi kesapo di kebun Jau."
Tuk Sakut terbelalak mendengarnya. "cakmano bisa?"
Wak Jayak hanya menggeleng. "Anak itu, aku tahu betul perangainyo tuk. Alim, dak pernah betingkah. Sekalinyo keluar yo untuk pai ke kebun Inoknyo. Dak mungkin orang seelok itu bisa kesapo."
Tuk Sakut mangut-mangut mengiyakan ucapan Wak Jayak. "Selepas magrib, kito berangkat ke dusun sebelah. ketua adat pasti tahu alasannyo. Ajak Jau dan Bio bila telah sehat."
Wak Jayak menggangguk, ia lalu buru-buru pulang ke rumah saat teringat pekerjaan yang ia tinggalkan pagi tadi.
Wak Jayak, Tuk Sakut, Jau, dan Bio, berangkat dengan mengendarai sepeda motor menuju Dusun Kejalo. Tidak seberapa jauh jaraknya, dua puluh menit kemudian mereka sampai di depan sebuah rumah panggung tua. Temaram lampu 15 watt yang tergantung pada sebatang bambu jadi satu-satunya penerangan di halaman rumah yang gulita. Tuk Sakut menjajaki tangga papan duluan disusul Wak Jayak, Jau, dan Bio. Ia mengetuk pintu sambil mengucap salam beberapa kali. Tak lama terdengar suara orang menyahut dari dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mbah Marinah
Fiction généraleSelamat datang di Kampung Api! tempat di mana para penduduknya datang dari penjuru negeri, memutuskan berkumpul dan sepakat buat membakar tabir realitas kehidupan. Awas! penduduk Kampung Api akan menyeretmu masuk ke seluk beluk kenyataan yang tidak...