Hai, namaku Alfariel Tristan. Seorang mahasiswa yang bisa dibilang rajin. Yup rajin gambar bebas di kelas, tukang tidur, dan tukang makan. Aku kuliah semester 3 jurusan arsitek. Bisa dibilang semester ini hectic banget, dan ya udah mulai banyak tugas yang kalo ditumpuk udah setinggi Gunung Everest.
Aku bukan anak organisasi yang rajin banget rapat dan pulang malem-malem. Dibanding rapat aku lebih milih buat ngopi sama temen-temen atau tidur di kos. Eits jangan pandang sebelah mata anak yang nggak ikut organisasi. Menurutku itu pilihan tiap orang sih, dan tujuan awal aku dateng ke kampus ya buat kuliah bukan buat organisasi.
Nggak ikut organisasi bukan berarti kehidupan kampusku se-gabut itu ya. Aku rajin ikut olimpiade juga dan nyari beasiswa. Orang tua ku nggak se-kaya itu buat bayar uang kuliah yang mahal. Jadi mau nggak mau sebagai laki-laki aku harus bisa bantuin orang tua setidaknya buat uang kuliah. Contoh nih contoh!
Anyway, aku punya temen dari kecil namanya Clara Fredelina. Dia juga semester 3 jurusan arsitek, dan kita sekelas. Awalnya dia emang nggak tau mau masuk jurusan apa bahkan nggak ada niatan buat kuliah, keluarganya broken home ya tau sendiri gimana dia berjuang buat menyemangati hidupnya. Clara ikut mamanya yang merupakan CEO perusahaan besar. Jadi bisa dibayangin betapa sibuknya beliau. Hampir tiap hari Clara makan di rumahku tiap pulang sekolah. Katanya makanan bibi nggak enak, lebih enak makanan ibuku.
Clara udah ibarat anak orang tua ku sendiri. Nggak ada sehari tanpa ketemu dia. Untungnya keluarga Clara nggak pernah nglarang dia bergaul sama siapapun termasuk sama aku. Dari situlah aku selalu nyemangatin dia yang ngerasa terpuruk dan nggak mau ngelanjutin studinya. Setelah beberapa kali membujuk dia, akhirnya Clara mutusin buat ikut masuk di jurusan arsitektur dan bersyukur banget kita sama-sama diterima.
Beda dengan kebanyakan anak yang seneng banget bisa masuk jurusan yang mereka pengen, Clara malah ngerasa biasa aja saat pengumuman diterimanya mahasiswa. Bisa dibilang dia butuh semangat dari kedua orang tuanya, atau mungkin semacam pujian 'Clara kamu hebat!'.
...
Sejak kuliah, Clara emang beda. Dia punya banyak teman, ikut organisasi, tak sepertiku yang kerjanya nongkrong di kantin kampus. Meskipun kita selalu sekelas, tapi nggak bisa dipungkiri kalo Clara bakalan ngumpul sama anak yang lain selain aku. Mungkin kita bisa ngobrol dan jalan bareng pas jam makan siang atau pas pulang kuliah. Itupun kalo dia nggak rapat.
Bener memang kata orang-orang. Mana ada cowok dan cewek deket cuma dibilang 'sahabat'. Itu berlaku buat Clara, bukan buatku. Ya gimana nggak suka, dia cantik, pinter, perhatian, sabar, pokoknya 'pacar-able' banget. Tapi sampe kuliah pun aku nggak pernah bilang ke dia soal perasaan ini.
Bukan takut, tapi aku nggak mau merusak persahabatan yang udah lama terjalin. Ah bullshit. Bilang aja Al kalo kamu tuh emang pengecut. Yup aku pengecut dan penakut. Mana bisa aku ngomong ke orang yang sekarang adalah 'dewi' nya kampus. Iya aku emang deket sama dia, tapi ada banyak juga yang ngaku deket sama dia.
Clara yang dulu emang bukan yang sekarang. Dia banyak tersenyum, menginspirasi banyak orang, dan aku bahagia melihatnya. Mungkin orang-orang nggak tau berapa banyak rasa sakit yang ia pendam selama ini. Tapi melihatnya lebih bahagia dari siapapun aku merasa tugasku sudah cukup.
...
"Alll!"
"Ra darimana? Tumben panggil-panggil."
"Apaan sih Al, emang nggak boleh ya manggil kamu?"
"Boleh lah, tapi ada yang marah nggak?"
"Huss sembarangan! Yang marah ya kamu dong kalo aku manggil cowok lain." kata dia sambil mukul lenganku.
"Aku nggak pernah marah tuh. Udah ah mau ke kelas." aku kesal.
"Ih kok ngambek. Yaudah Alpaca ku ke kelas yuk."
Fyi, panggilan Clara ke aku tuh emang beda-beda. Kadang Al, terus tadi Alpaca. Aku mirip katanya. Bahkan dia pengen ke Amerika cuma buat liat Alpaca. Lucu kan dia.