1

284 13 3
                                    

PROLOG

Konon orientasi seksual adalah murni preferensi. Sama seperti saat kamu lebih menyukai kucing daripada anjing atau hitam dari pada putih. Garis kerasnya adalah, homoseksual bukan dikategorikan sebagai gangguan jiwa.

Namaku Adryan. Dengan berbagai alasan mereka lebih suka memanggilku Rian. Tinggi badanku sebatas 156 cm, berat badanku tidak lebih dari 40kg. Jangan menyebutku kurus dan pendek. Hanya saja pertumbuhanku terhambat karena kurangnya gizi yang menutrisi tubuhku. Rambut coklat pekat dan iris senada, juga hidung mancungku mungkin adalah satu-satunya nilai baik yang ku miliki.

Peran sebagai kepala rumah tangga yang aku dapatkan mendampingi status ku yang masih pelajar. Kewajibanku tidak hanya belajar, tetapi juga bekerja mencari uang untuk menutup biaya rumah sakit ibuku. Satu satunya orang tua dan keluarga yang ku miliki.

Berusaha untuk berkonsentrasi saat mengikuti pelajaran terkadang sulit ku lakukan. Guratan tinta merah di beberapa mata pelajaran seolah menjadi tamparan yang memaksaku lebih keras lagi menggadaikan waktu istirahat singkatku untuk mempersiapkan waktu dimana aku mempertaruhkan harapan menuju gagal atau berhasil melepas status pelajar sma ternaas tahun ini.

Tidak ada hal lain yang menarik untuk aku pikirkan lagi. Termasuk menjalin sebuah hubungan ataupun sejenisnya yang menyita waktu dan tidak berguna.

Ah, yang benar saja. Memiliki keluarga dengan tingkat perekonomian yang layak atau sekedar memiliki waktu luang untuk bersantai menikmati sepotong roti hangat bersama kedua orang tua dan menghabiskan siang hingga matahari meredup di tengah taman dengan gelak tawa sudah merupakan mimpi belaka bagiku.

Aku tidak memiliki banyak teman. Di sekolah, aku hanya akan duduk di bangku usang barisan terbelakang sudut ruangan. Zona ternyaman untuk terlarut melepas beban sejenak saat bu ivan membacakan puisi sastra layaknya lulaby yang siap meninabobokan para siswa di mata pelajaran bahasa.

Atau saat sesekali melirik teman sekelasku yang selalu heboh dengan berbagai topik cerita yang mereka obrolkan. Seperti terjebak dalam dinding kasat mata. Mereka terbiasa menganggapku makhluk asing yang hanya perlu diabaikan.

Aku hanya akan ke perpustakaan untuk tidur saat istirahat. Terkadang mbak Ika -penjaga perpustakaan- memberikan sekotak susu rasa pisang dengan alasan aku sedang dalam masa pertumbuhan.

Kemudian mengamini doa Pak Supri - tukang kebun sekolah- secara rutin saat melewati gerbang sekolah ketika jam pelajaran berakhir sebagai penyemangatku sebelum berangkat bekerja paruh waktu di beberapa tempat hingga larut.

Mungkin hal itulah yang membuatku semakin tersisih dan gagal membentuk sebuah integritas masyarakat tanpa menyentuh garis standar.

Bergelut dengan pekerjaan paruh waktu di sebuah kedai kopi setelah jam pelajaran di sekolah habis sudah menjadi hiburan tersendiri bagiku. Melupakan sejenak masalah biaya sekolah yang menunggak selama hampir satu semester. Atau sekedar mendinginkan kepala dari omelan pedas guru pembimbing karena mengindahkan sederet undangan orang tua dan membuangnya begitu saja di tempat sampah.

Melewatkan makan siang dan mengonsumsi kopi yang aku kumpulan dari sisa seduhan memperburuk pola makan ku. Bertahun menggerogoti tubuhku.

Aku berjalan cepat melewati parkiran, mengembalikan sepeda Pak Supri yang kemarin di pinjamkannya padaku. Beliau khawatir aku mendapat teguran karena terlambat kerja paruh waktu.

Area parkir sudah penuh, tidak banyak tempat tersisa, Kecuali celah sempit diantara ZX-10R dan Lexus LS-500 yang terlihat sangat pas untuk ukuran sepeda federal pak Supri yang ramping.

Sedikit tergesa aku menempatkannya hingga tanpa sengaja menggores sedikit body mobil mewah yang saat ini tak bertuan.

Tidak. Ada seseorang di dalam sana. Hanya sekilas terlihat karena kaca mobil yang begitu pekat. Persetan dengan ini, aku tidak perduli. Aku hanya perlu berlari sedikit lagi karena bel masuk kelas akan berbunyi beberapa menit lagi.

Koridor sudah mulai sepi, sebagian besar siswa sudah berada di dalam kelas. Setengah lega karena tidak akan ada banyak mata tajam yang menghujamku. Setengah merutuki letak kelas yang berada di lantai ke dua. Kedua hal yang sama sekali tidak pernah menguntungkanku.

Bel tanda masuk kelas berbunyi tepat saat aku mendudukan pantatku di bangku milikku. Chalev disana, duduk di bangku terdepan. Sedang serius menatap ponselnya, Tidak menyadari kedatanganku. Meski aku terbisa diabaikan oleh seisi kelas, dia justru menjadi orang pertama yang melakukan hal tak terduga. Dia mendatangiku kemudian mengajukan dirinya menjadi teman terbaikku.


Next cerita? Kalo banyak yang baca aku usahakan untuk lanjut gais :)


24/10/2018

Tertanda Penas98

My Pretty Boy, My Silly BoyWhere stories live. Discover now