2

168 10 4
                                    

HEY YOOO, UPDATE LAGI NEH. Maaf baru ada waktu hehehe, aku sama editornya lagi sbuk hehe, maaf bru sempet update :*

SELAMAT MEMBACA ;V


Konon, daun tidak pernah membenci angin yang membawanya jatuh untuk gugur. Meskipun tau akan tergolak tanpa henti. Meskipun tau akan terinjak kaki. Daun tetap akan menunggu angin untuk menjelajahi isi dunia.

Berbeda dengan Rian, bagaikan tersesat di dunianya sendiri. Terbelenggu dalam batas memori. Dia benar benar tidak bisa mengingat masa kecilnya. Seperti dilahirkan kembali dengan wujud remaja malang, Rian benar benar tidak bisa mengingat lebih jauh untuk meyakini siapa jati dirinya.

Di besarkan oleh seorang wanita paruh baya yang menyebut dirinya ibu tanpa balasan kasih sayang. Rian masih ingat saat dirinya pulang petang karena kegiatan orientasi siswa saat menginjak sekolah menengah pertama, wanita itu memaksanya segera mengemas barang penting untuk pindah secepatnya. Rian hanya bertanya ingin tau alasan apa yang membuat mereka harus pindah secara mendadak. Bukan jawaban yang melegakan, justru sebuah tamparan dan siksaan tanpa henti yang dia dapat.

Penderitaan tanpa henti dimulai saat wanita itu berhasil menyeret Rian di tempat tinggal yang baru. Di sebuah pemukiman kumuh jauh dari kata layak. Sebuah rumah di ujung gang sempit dengan beberapa sisi tembok yang rumpang, menjadi tempat tinggal permanen hingga saat ini. Wanita itu sering minum alkohol setiap malamnya. Sebelum jatuh sakit untuk waktu yang lama.

Rian menghela nafas saat pandangannya terpaku pada sehelai daun yang baru saja jatuh tepat di ujung sepatunya. Suara bel sekolah ke dua yang dia abaikan sudah terdengar. Dengan langkah malas, Rian beranjak dari bangku kayu di seberang lapangan sepak bola untuk segera kembali ke dalam kelas. Koridor yang menjadi jalur cepat ke arah kelas yang masih ramai membuat langkah kaki Rian berputar arah mengambil jalur dekat parkiran.

Mendengus sebal karena akan semakin banyak memakan waktu. Rian hampir berniat untuk membolos sekali lagi. Setidaknya, sebelum tanpa sengaja menemukan hal yang menarik perhatiannya. Bukan punggung laki-laki brengsek yang Rian benci, namun penampakan sepeda Pak Supri yang kini tak lagi berbentuk tergeletak begitu saja.

"BRENGSEK. APA YANG KAMU LAKUKAN?" Rian berlari bak kesetanan, berniat melayangkan kepalan terkuat yang dia persiapkan. Seperti sudah terbaca, Arga bahkan dengan santai menyambut amarah yang Rian tujukan padanya. Secepat kilat Arga membalikkan keadaan, bahkan Arga sempat menarik kerah baju Rian sebelum membantingnya di paving block yang keras.

Kilasan memori tentang seorang balita mungil tertawa terbahak sambil memainkan robot optimus prime itu datang lagi. Terus berputar kembali seperti kaset rusak. Kali ini bahkan lebih jelas dan menyayat hati. Seorang wanita paruh baya dengan paras anggun baru saja meletakkan sebingkai foto keluarga kecil dengan empat wajah riang yang jelas terlihat begitu hangat di meja nakas. Sebelum akhirmya wanita itu menyambut balitanya yang mulai bosan dengan mainannya. Rian berdiri di salah satu sudutnya, membuatnya dengan jelas menangkap sosok wanita berwajah familiar beraura mencurigakan. Seolah sedang merencanakan hal jahat, wanita itu bahkan menggenggam sebilah benda tajam. Tertarik untuk bergabung dan memperingatkan. Namun seperti dihalangi dinding transparan, Rian hanya terdiam seperti sedang menonton salah satu adegan memorial sebuah film dokumenter di depan televisi.

"Matikan monitornya dan cepat gunakan sabuk pengamanmu. Kita sudah terlambat" Pria berjas hitam di balik kemudi berusaha mengingatkan disela konsentrasi penuh mengemudi dengan kecepatan yang lumayan.

Rian menyadari dia sedang duduk di jok belakang. Di sampingnya duduk seorang bocah laki-laki berwajah familiar sedang berat hati melakukan perintah seorang pria berjas itu.

My Pretty Boy, My Silly BoyWhere stories live. Discover now