Malam sempurna dalam wujudnya. Ia serupa payung hitam raksasa yang ujung-ujung nya menancap di kaki cakrawala. Bulan pucat mengapung, bermain petak umpet dengan mega-mega. Bintang-bintang seperti sekumpulan muda-mudi yang saling mengedipkan cahaya matanya. Benda-benda langit jadi ornamen interior yang hanya dimiliki malam. Ditambah sejumput misteri, malam adalah rumah bagi hati yang mendamba sekaligus lubang hitam bagi pemilik duka nestapa.
Angin melambaikan rambut pemuda yang gondrong sebahu ketika tangan kirinya melambai pada sebuah angkot 02 yang berjalan lirih di ruas jalan utama stasiun Bogor. Tangan kanannya memegangi tas ransel hitam bermerk Adidas yang menggantung di bahunya.
"Pulang kerja a??" Pak sopir yg baik hati membuka percakapan dengan nada sehangat bandrek susu. Ia mengamati penumpangnya yang kebetulan hanya dia seorang diri duduk di depan bersebelahan termangu menatap jalan yang bermandikan sinar lampu.
Setelah agak lama tak ada jawaban, Pak Sopir kembali memperdengarkan logat khas Sundanya. Tanpa di minta, ia bicara soal profesi nya yang sudah dua puluh tahun, asal usulnya, anak istrinya, umur, tentang Bogor mulai dari makanan, orang-orangnya, tempat-tempat yang wajib di kunjungi, hotel murah, pasar tradisional, pantai, sempur, taman curat coret dan tak ketinggalan tempat selfi kids jaman now. Keramahannya khas kota hujan ini.
Si Pak Sopir ini sengaja bercerita ini itu karna melihat gelagat dari lelaki ini seperti memang bukan asli orang Bogor.
"Wah, sampai lupa, Aa. (Julukan sopan kepada laki-laki yang baru di kenal) Nama na Abdi?? (Nama nya saya??) Syamsudin. biasa di panggil Udin Weh (Aja)" Di bawah lampu merah, ia menoleh ke pinggir kiri nya. Posisi pemuda itu masih sama ketika pertama kali duduk.
"Sudah hampir tiga kali kita muterin Bogor. Sudah sepuluh lebih hotel kita lewati, lupa nama penginapan nya?" kerut putus asa mulai tampak di wajahnya. Ia kenyang melihat perilaku aneh semacam ini, tetapi saat ini ia juga tidak ingin melihat seseorang tiba-tiba bunuh diri di dalam angkotnya. Ia akan bertanya sekali lagi dan bila tetap diam dia akan menurunkannya di halaman hotel 101 di jalan Suryakencana depan sana itu.
"Jalan aja lurus."
Syamsudin menjelaskan bahwa saat ini pun sedang bergerak ke arah sana jalan lurus.
"Bapak jalan aja dah ke sana lurus dulu, nanti gue yang ngasih tau kapan belok, pelan-pelan dan berenti." Jawaban pemuda itu sekaligus pemberitahuan dari mana ia berasal.
Angkot bergambar doa restu ibu itu meluncur melewati pasar bogor terus lurus menyusuri jalan surya kencana, di perempatan gang aut belok kiri membelah jalanan yg sudah mulai sepi lalu menyuruh pelan dan belok kanan. Pemuda berjaket jeans itu menunjuk.
Syamsudin menoleh ke samping kirinya dan melepas kacamata nya. " Sebenarnya, Si aa teh mau kemana?? jalan depan itu menuju kampung orang. kalau masuk tanpa tujuan yang jelas bisa-bisa kita berurusan dengan orang kampung. Punteun (Maaf) a , saya embung ( ga mau) cari masalah. seharusnya, saya sudah di rumah sejam yang lalu.Untuk pertama kali nya dengan jelas, Syamsudin melihat wajah pemuda berkaca mata itu. Hidungnya mancung. Matanya bulat besar. Kulitnya putih. Kumis tipis dan brewok sedikit yang seperti sudah beberapa hari tidak di rapikan. Dalam keremangan cahaya, pemuda itu memenuhi kriteria Kaseup, "puji Syamsudin dalam hati" tampan kalau dalam bahasa orang kota. Meski wajah itu juga bicara lain, kegundahan yang melompat-lompat di balik tatapan nya yang sayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Viola in Ney 🍃
Non-FictionSemua nya berhulu di sebuah sudut kampung Kota Bogor. Dan, akan bermuara entah di sudut kota mana. Siapakah sosok yg di maksud?? Tentu saja tokoh utama dalam judul kisah ini, yakni Ney, seorang guru panggilan yg cantik, sederhana, bijak dan...