Menyesal

75 5 2
                                    

"Kamu tau nggak, ngakak banget tadi di sekolah ahahahah."

"Kenapa, sih? Kayaknya kamu seneng banget. Sini cerita."

"Tadi, waktu pelajaran seni budaya temen aku dipanggil kedepan buat ngejawab pertanyaan yang dikasih di papan tulis. Nah, kan lantai yang di depan kelas tuh dibikin kayak panggung kecil. Dia berdiri disitu, nggak lama aku perhatiin kakinya udah mau nginjek batas akhir panggung. Yang lain nggak merhatiin, tiba-tiba ada suara besar banget dari depan. Ternyata dia jatuh, dong hahahaha," kataku sambil tertawa.

"Lah, orang jatuh malah ketawa kamu tuh. Lagian kamu liat dia udah mau jatuh, kenapa nggak kamu kasih tau, cantiiik?" ujarnya sambil menekankan kata 'cantik'.

"Aku kan nggak tau dia bakal jatuh. Udahlah, takdir dia harus jatuh. Gaya jatuhnya itu yang bikin aku ngakak, kayak mau surfing woy hahahah."

"Harusnya kamu fotoin dia, terus kirim ke aku. Nanti aku editin biar ada efek lautnya, aku kasih papan selancar. Terus aku tambahin kamu disitu."

"Aku ngapain disitu?" tanyaku bingung.

"Nyedot air laut," jawabnya sambil tertawa. Aku yang mendengarnya ikut tertawa, bukan karena jokes-nya yang garing itu, tapi karena mendengar dia tertawa. Lihat, betapa receh-nya aku.

Obrolan malam via telfon yang sudah menjadi ritual antara aku dan manusia satu ini memang selalu menimbulkan gelak tawa. Entah aku yang memulai ataupun dia, selalu saja ada celah untuk kita tertawa bersama.

"WOY DIEM-DIEM BAE! NGEPET NAPA NGEPET," aku memecahkan suasana yang tiba-tiba hening itu.

"Lah, aku kan yang jaga lilin kamu yang ngepet. Rumah pak RT sepi tuh."

"Apa sih lo, gajetot," kataku mengejeknya.

"Gajetot? Apaan tuh?"

"GAK JELAS TOTAL!" aku meneriakinya sambil tertawa.

"Buset dah, kuping gua budeg nih udeh."

Suasana menjadi hening kembali. Kali ini dia yang memecahkan suasana itu.

"Ay.." suara beratnya sukses membuatku meleleh. Selalu begitu.

"Fal.."

"Si kunyuk malah manggil balik."

"Hehe, daripada dianggurin nanti lo ngadu ke nyokap terus nangis deh."

"Hm. Aku kangen, tapi nggak tau kapan bisa ketemu," ucapnya dengan nada manja-manja geli.

"Aku juga kangen, tapi nggak tau kapan kamu punya waktu buat ketemu. Udah ah, aku ngantuk, goodnight."

Tanpa basa-basi aku langsung memutuskan telfon secara sepihak. Sedikit kesal, alasannya selalu sama.

Namaku Aysha Ayudia Darmawan, orang-orang memanggilku Aya. Aku adalah anak tunggal dari keluarga yang sederhana. Aku bukan anak yang semua keinginannya bisa terkabul. Kadang keinginanku dipertimbangkan dahulu, setelah itu jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Sekarang aku duduk dibangku kelas 2 di salahsatu SMA favorit di kotaku.

Manusia yang sudah menjadi teman ritualku namanya Naufal Fatih Hermawan. Dia anak tengah-tengahㅡalias anak keduaㅡdari 3 bersaudara. Naufal tinggal di Bekasi, sedangkan aku di Bandung. Kita menjalani hubungan jarak jauh tanpa ada status yang pasti.

8 bulan berlalu, hubunganku dengan Naufal baik-baik saja. Hingga saat itu tiba, tepatnya 4 November 2017. Ada notif pada LINE-ku.

"Hai."

"??" jawabku sok jual mahal.

"Kelas 2 SMA Harapan Bangsa, dek?" hm, ini adalah permodusan.

Masih dengan jawaban yang sok cool, "Iyaa,". Karena penasaran, kutanya balik, "Kakel?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PenyesalankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang