Prolog

15 3 0
                                    

Saat pertamakali ketemu dia, saya adalah mahasiswa kere yang makan cuma sekali sehari pake mi instan+telur+nasi. Ya sekarang masih sih.
.
.
.

"aku kehilangan dompet. ya tadi ada, sekarang nggak tau dimana."

Ini sudah lewat tengah malam, gadis secantik dia berani duduk di trotoar sesepi ini dengan gaya urak-urakan, mata sembab dan suara parau seperti itu. Dia bisa saja jadi mangsa preman.

"mana bisa? Aku nggak punya uang sepeser pun. halo? ha-halo? Argggggh"

Eh buset suaranya keras juga, kaget aku. Tapi kasian, aku tolongin aja deh. Niatnya tolong dia, tapi pas buka dompet, ternyata uangnya tinggal 100 ribu. Uang bulanan dari ortu masih 5 hari lagi.

"Hiks.. hikks"

Yah dia menangis, terpaksa aku harus menolongnya.

"Permisi mbak, ini saya ada uang, mbak pake ini aja bayar taksi" kataku sambil menyodorkannya selembar uang 50 ribu.

"Ah nggak usah repot-repot mas."

"cepetan pulang ini udah malam banget, bahaya" kataku, memaksanya.

"Uhm anu, tapi rumahku agak jauh"

Ah sial. Tanganku gemetaran mengeluarkan satu-satunya lembar kertas yang tersisa di dompetku.

"Terimakasih." Katanya. Dia mengeluarkan secarik kertas, dituliskannya sesuatu di sana dan memberikannya padaku.

"Telepon aku. Uangnya nanti aku ganti"

Keesokan harinya aku rasa aku hampir mati kelaparan. Nomornya masit tersimpan di saku jaketku. Haruskah aku meneleponnya untuk uang 100 ribu. Itu sangat memalukan. Tapi, apa gunanya hidup dengan harga diri di saat seperti ini.

Dengan mempertaruhkan kesejahteraan perut, aku memutuskan untuk meneleponnya.

Dialing...
"Halo" sapanya. Suaranya sangat manis.
"Halo, mbak. Masih ingat nggak kejadian semalam. Ini saya yang minjemin mbak uang"
"Oh. Iya mas aku ingat. Kita ketemuan di cafe dekat lokasi semalam jam 7 ya"
"Iya mbak"

Jam 7 sudah di depan mata, karena jarak tidak terlalu jauh, aku berjalan kaki menuju kafe. Berharap dia sudah duduk manis menungguku. Karena aku tidak mau meninggu, aku tidak suka menunggu, itu membosankan dan mengkhawatirkan.

Dan benar saja, dari pintu kafe aku melihatnya sedang duduk di sudut kafe arah jam 10 sambil memainkan ponselnya. Sial, dia.. manis sekali.

"Halo, mbak. Udah lama nunggu?"
"Iya" right to the point
"Maaf saya telat"
"Nggak apa-apa"
...awkward
"Uhm. Ngomong-ngomong nama mbak siapa?"
"Dinda" nama yang pas
"Saya Joshua."
Dia senyum. Manis sekali. Kalau lama-lama di sini bisa diabetes rasanya.

Tanpa berlama-lama dia langsung mengeluarkan uang 100 ribu dan menyodorkannya padaku, masih dengan senyumnya. Tanpa ragu, aku meraihnya.

"Ini sangat memalukan, aku pasti terlihat mengerikan semalam. Terimakasih sudah mau membantuku"

"Tidak. Kamu terlihat cantik"
Dia senyum lagi, rona pipinya makin terlihat. Senyum malu-malunya seakan membuat cacing di perutku makin berteriak.

"Saya rasa terimakasih saja tidak cukup. Mari aku traktir makan"

"Ah jangan. Biar aku yang traktir." Sial, kenapa aku bilang begitu. Uhm mari pikirkan sesuatu yang murah. "Mau makan nasi kucing?"

"Nggak"

.
.
.

"Kamu makan itu cukup?"
Tanyanya sambil mengunyah steak yang baru saja ia suap masuk ke mulutnya.
"Iya. Aku memang lagi diet"

Uangku tidak akan cukup. Ayo berpikir apa yang harus dilakukan.

Makanannya sudah habis. Waktunya pulang.
"Dinda. Kamu keluar duluan ya. Aku ke toilet dulu terus aku ke kasir bayar tagihannya" dia mengangguk.

Aku ke toilet untuk mempersiapkan mental. Aku memantapkan diri menuju kasir dan...
"Permisi. Mbak."
"Ya, Mas?"
"Begini, ini mungkin kedengaran aneh. Tapi, boleh nggak aku ngutang dulu. Aku tinggali ktp deh"
"Ooh.. nomor meja mas yang..
"Nomor 12"
"Iya, sudah dibayar sama pacar mas"
"Pa-pa car?"
"Joshua?" Tiba-tiba dia manggil dari arah jam 9. Ekspresinya menunjukkan bahwa saya sudah terlalu lama. Aku cuma bisabtersebyum canggung.

Aku mengantarnya sampai di halte bus.
"Terimakasih sudah mengantarku"
"Ah iya itu bukan apa-apa" dengan sedikit ragu aku mengocek saku, menarik uang 100 ribu yang tadi dia berikan padaku, "aku rasa, aku tidak perlu mengambil uang ini"

"Jangan begitu, ambil saja" katanya.
Ada sedekit keheningan, dia menarik napas kecil lalu berkata pelan-pelan "sebenarnya, aku membayar makanan tadi karena aku masih mau ketemu kamu"
Aku mematung, terlalu kaget mendengar kata-katanya.
"Ayo nonton di bioskop menggunakan uang itu"
Senyumanku melebar, aku girang sekali.

Sejak saat itu, aku dan Dinda menjalin hubungan sampai sekarang. Minggu depan adalah anniversary perdana kami.

RELATIONSHIT GOALSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang