Part 2

49 3 0
                                    

 Jangan lupa Vote ya ... klik lambang bintang.

Sarah tidak tahu harus mengadu pada siapa. Ia juga tak kuasa berbagi keluh kesahnya pada Rangga, temannya sedari kecil. Pasalnya nama lelaki itu telah lama menguasai hatinya. Tetapi, Sarah tak yakin 'dirinya' pemilik hati Rangga.

Hati Sarah dipenuhi debur kekecewaan, ia salah mengira. Papinya tak selalu mengerti dirinya. Pemilik manik hazel (iris mata berwarna cokelat muda dan hijau keemasan) yang biasa sendu melihatnya sedih, kini menerbitkan pilu hatinya.

***

"Neng— masuk! Sudah Mahgrib, sholat sama si Mbok, yuk!" Sarah terkejut oleh kehadiran perempuan tua di belakangnya. Mbok Lastri, pengasuh yang sudah bekerja, sebelum ia lahir itu, hanya dijawab dengan gelengan, seraya ia menegakkan tubuhnya dan berjalan masuk ke ruang keluarga, diikuti Mbok Lastri.

"Neng ... nanti Mommy sedih, Neng, gak sholat." Wanita yang berusia lima tahun di atas Papinya itu mencoba membujuknya sholat.

"Aku lagi haid, mbok." Sarah berlari kecil menaiki tangga menuju kamarnya.

"Hati-hati, Neng!"

"Iya Mbok--! Aku bukan anak kecil lagi!" teriak sarah seraya mengerucutkan kedua bibirnya.

"Mbok— bilang sama Papi jangan menungguku untuk makan malam! Aku tidak lapar!" jerit Sarah sembari membanting pintu.

Sarah menghamburkan dirinya di atas ranjang. Menelungkupkan wajahnya di atas bantal. Sarah tidak memahami keinginan mendadak Papinya, sebulan mendatang ia harus hidup dalam ikatan pernikahan dengan orang yang belum dikenalnya.

Tapi, sisi hatinya berkata lain, pasti ada alasan yang tepat bagi Papi.

"Aarrghh," erang sarah seraya kepalan tangannya memukul kasur.

"Apapun itu alasan papi, pernikahan ini tidak akan aku turuti." Sarah meyakinkan dirinya sendiri, untuk kali ini, ia akan menolak patuh perintah Papinya.

Sarah tidak bisa menghentikan pertanyaan yang terus berputar-putar di benaknya , mencoba menebak-nebak alasan Papi menjodohkannya. Papi pasti tahu perasaannya pada Rangga. Tapi, mengapa memaksaku menikah dengan orang lain? Apa kurangnya Rangga? Selama ini, Papi juga yang meminta Rangga, mengawasinya di kampus. Apakah ini salah satu sikap over protektif Papi?

Sarah tidak pernah benar-benar merasa benci sikap over protektif Papinya itu. Baginya itu bentuk kasih sayang luar biasa yang dicurahkan untuknya. Sarah juga tidak pernah menjadi pembangkang sebagai tindakan protes setiap perhatian berlebih Papinya, malah dia selalu merasa menjadi gadis paling beruntung karena memiliki sosok ayah seperti David. Bukan tanpa alasan Sarah menganggap David cinta pertamanya, ketika mulai mengenal makhluk Tuhan berjenis kelamin laki-laki. Bahkan, ia selalu berharap menemukan suami seperti sosok Papi, agar kelak jika ia memiliki anak perempuan, putrinya dapat merasakan kebahagian sepertinya.

Ingatan Sarah kembali pada masa kecilnya. Sebagai pemimpin perusahaan yang setiap hari disibukkan urusan pekerjaan. Namun, David selalu bisa mengatur waktu berkualitas membersamai Sarah. Setiap hari Papi selalu menyempatkan bermain bersamanya bukan hanya membelikannya mainan. Setiap hari juga Papinya selalu mengajaknya bicara dan selalu mendengarkannya. Tersenyum, tertawa, menangis, mewarnai, bercerita, menempel, membereskan tempat tidur, mengacak-acaknya lagi, dan masih banyak lagi yang dilakukan Sarah dengan Papi. David menjadikannya bak putri raja, semua inginnya bisa dipenuhi, tapi, tetap mendidik tidak semua maunya harus terpenuhi, meskipun dengan cara menangis, pelukan hangat dan nasihat akan meredakan tangisnya. David juga mampu menghadirkan dirinya sebagai sahabat terbaik buat Sarah. Sarah bangga memiliki David dan Sandra, sebagai orang tuanya. Apa yang dilakukan orang tuanya adalah harapan 'Edukasi Parenting' yang gencar dilakukan para ahli psikologi saat ini. Setelah masuk SKS 'Ilmu Kesehatan jiwa' di semester tujuh, Sarah semakin menyadari betapa ia sangat beruntung.

Sarah mendengar gedoran halus dari pintu kamarnya.

"Honey ... makan sayang ...."

"Sarah sudah tidur Pi ...." Sudut bibir David sedikit terangkat. Kalimat itu akan selalu meluncur dari bibir tipis putrinya tiap kali Sarah merajuk di kamarnya.

"Nanti tidur lagi, setelah makan."

"Sarah belum lapar Pi__"

"Ya sudah. Tidurlah Sayangku. Lain waktu kita lanjutkan lagi. Papi hanya ingin kau bahagia." David menyerah. Memberi waktu untuknya sendiri, sebelum ia menyingkap semua alasan perjodohan untuk putrinya.

"Mom ... kepada siapa aku bisa berkeluh kesah? Mommy benar. Harusnya aku memiliki seorang sahabat tempatku berbagi."

Sarah bukannya gadis introvet. Ia juga tidak pernah kesulitan bersosialisasi. Sarah hanya tidak merasa perlu memiliki sahabat untuk berbagi keluh kesah. Ia memiliki banyak teman, tetapi berteman sewajarnya, bermain, belajar dan mengobrol seadanya. Berbeda dengan teman lain seusianya yang memiliki satu atau dua orang teman yang sangat dekat untuk saling mencurahkan isi hati semua masalah, atau berbagi kebahagian.

Setiap Ibunya itu menyuruhnya mencari teman seperti itu, Sarah, tidak pernah bisa menemukannya. Ia selalu melihat kekurangan dari calon sahabatnya. Sarah tidak pernah bisa merasa nyaman. Karena semua kriteria sebagai sahabat impian yang diharapkannya itu tidak pernah ia jumpai.

Sosok Papinya yang sempurna sudah cukup untuknya, Papinya memiliki semua kriteria sesuai harapannya. Papi tidak hanya ayah baginya, ia merasa papi bisa jadi apa saja sesuai keinginannya.

Namun, Sarah merasa hari ini ia sebatang kara. Ia tidak memiliki tempat untuk berbagi masalahnya. Ia tidak punya seseorang yang membantu mencari jalan keluar untuk masalahnya.

Sarah menangis pilu. Sosok yang selalu mampu menghadirkan tawanya, kini penyebab ia tergugu.

Bukan Pilihan Hati (On Going)Where stories live. Discover now