s a t u

102 14 4
                                    

Reihan mengetuk jarinya pada meja dengan tidak sabar. Matanya terfokus pada sosok gadis berambut hitam legam sepinggang dengan kernyitan di wajah, namun hal itu tak menghancurkan fokus gadis yang sedari tadi tengah duduk di depan buku dengan tebal lebih dari 300 halaman itu.

Serangkaian hal telah dilakukan Reihan sejak dua jam terakhir, tapi yang dilihatnya tetaplah sama; gadis yang berstatus sebagai sahabatnya itu sama sekali tak bergerak dari posisi nyamannya belajar.

Matanya yang kini berbalut kacamata baca yang hanya sesekali dipakai itu menampakkan keseriusan. Tangannya terus menuliskan angka-angka—yang bagi Reihan lebih terlihat seperti mantra penyihir, daripada rumus matematika. Melihatnya saja, dapat membuatnya pusing.

Reihan sedang teramat bosan. Ingin rasanya ke suatu tempat, sekedar untuk refreshing, tetapi Reina--nama gadis itu, sama sekali tak mengindahkan ajakannya.

Reihan akhirnya kembali berucap, membujuk gadis berwajah datar itu entah untuk keberapa kalinya--Reihan berhenti menghitung ketika mencapai angka tiga. "Rei, ke supermarket yuk, beli es krim. Kutraktir, deh."

Reina berdeham, "Hm. Pergi sendiri."

Hanya itu yang Reihan dapat. Oh ayolah. Ia heran, kenapa Reina memilih duduk sampai karatan di sini daripada pergi ke suatu tempat, layaknya anak muda lainnya.

Selama pengamatan Reihan, yang dilakukan Reina hanyalah belajar. Apa otaknya tidak lelah melihat semua angka itu? Reihan saja, dengan melihat Reina belajar merasa lemas.

Ia lalu bersandar pada rak-rak buku yang menjulang hampir sampai atas langit-langit kamar. Matanya menatap sekitarnya—yang sebenarnya lebih mirip ruang perpustakaan daripada kamar seorang gadis.

Bayangkan saja, kamar yang cukup luas itu bercorak putih abu-abu dan polos tanpa pajangan foto atau apapun. Ada tiga rak berjejer berisikan macam-macam buku, terdapat juga beberapa meja duduk yang biasa dipakai Reina untuk belajar.

Benar-benar mirip perpustaakan.

Yang membedakannya adalah sebuah kasur ukuran sedang di tepi ruangan, berwarna putih bersih dan nyaman. Membuat Reihan selalu ketiduran jika sudah merebahkan diri di atasnya.

Matanya lalu seperti ditarik pada lemari piala yang berada di ujung kamar. Ada banyak piala juga piagam tertata rapi di sana. Benar-benar. Kadang Reihan berpikir kalau Tuhan itu tidak adil. Bagaimana Ia memberikan kepintaran yang terlalu menonjol untuk Reina sedangkan tidak ada satupun untuknya--ehem, oke. Ia jadi hiperbolis gara-gara ditolak Reina tadi.

Tapi kenyataan bahwa Reina memiliki otak yang sangat 'encer' bukanlah sebuah pernyataan yang berlebihan. Memang begitulah adanya. Ditambah dengan sifat tekun dan rajin, ia lebih pantas disebut robot yang melakukan sesuatu dengan sempurna dalam waktu singkat. Otak Reina bagaikan sistem komputer versi terbaru, yang bisa terus di-upgrade dengan cara belajar.

Reihan memegang perut ketika muncul sebuah suara dari sana. Sedikit meringis ketika dapat lirikan dari Reina yang sepertinya juga mendengar suara itu.

Reina menghela napas, menyelesaikan satu soal lalu menutup bukunya. Ia beranjak dari tempatnya lalu melenggang menuju pintu yang menghubungkan kamar itu dengan ruang tengah.

Reina berpaling sedikit ketika diambang pintu, lalu berujar dengan nada datar. "Tunggu sebentar, kubuatkan makanan."

Senyum Reihan langsung mengembang. Ia mendatangi Reina dengan sedikit berlari ke arah dapur.

Step ForwardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang