Gilang dan Neo adalah sahabat. Mereka sangat dekat. Mereka berbagi tawa juga kesedihan. Mereka selalu saling mendukung. Namun itu dulu. Dulu sekali.
Ini semua berawal dari Neo yang mengakui bahwa ia jatuh cinta pada Gilang. Namun Gilang justru jadi balik membencinya. Ia bilang ia bukanlah seorang homo. Itu yang ia tegaskan. Atau mungkin mencoba ia tegaskan.
Neo sudah yakin akan penegasan Gilang. Tak mungkin Gilang akan berbelok atau menyukainya. Itu satu hal mustahil di dunia ini. Tapi dia sudah tidak bisa lagi menahan perasaanya. Ia sudah sangat sesak. Namun mendapati tatapan penuh kebencian tertuju padanya dari Gilang, rasa sesak itu semakin menjadi. Di hari itu Neo menangis dengan pilunya. Di hari itu Neo kehilangan senyumannya. Di hari itu ia kehilangan Gilang disisinya. Di hari itu awal dari tetes air mata yang membuat Neo rapuh. Menjauh adalah pilihannya. Lari adalah keputusannya. Namun tersesat bukanlah keinginannya.
Tiga tahun.
Tiga tahun kesepian itu membuat hidup Neo merasakan hampa. Ia tak pernah sekalipun menemui Gilang semenjak penolakan itu ia terima. Ia ingin tapi tak bisa untuk menemui Gilang. Dan air mata itu masih selalu terjatuh dari matanya. Ia sendirian.
"M-Ma....... Neo boleh makan gak Ma?"
"Siapa yang kamu panggil Mama? Saya bukan Mama kamu. Kamu bilang apa? Mau makan?"
Wanita yang Neo panggil Mama itu menjambak rambutnya.
"Gak ada makanan buat kamu. Gak ada sama sekali. Pergi sana!!"
Ya. Neo benar-benar sendirian. Tiga tahun ini benar-benar menyiksa batin juga psikisnya. Tiga tahun ini ia mencoba untuk bertahan.
Tubuh kurus itu ia paksa untuk ia tidurkan di kasur tipis yang sudah tidak layak pakai. Bibir keringnya bergetar pelan. Mata sayu dengan kantung mata itu telah basah oleh air mata. Dan tubuh kurusnya meringkuk. Ia bukanlah Neo yang dulu. Hidupnya benar-benar hampa saat ini. Ia tak punya siapa-siapa.
"Gilang....."
Namun nama itu masih sering ia ucap. Berharap bisikan lirihnya sampai ke pada si pemilik nama.
"Maaf....."
Jika bertemu dengan Gilang lagi, Neo akan mengakui kesalahannya. Ia tak seharusnya jatuh cinta. Ya. Dia salah. Benar-benar salah.
"Maaf..... "
Mata sayu itu terpejam. Mengarungi mimpi dengan perut kosong yang lagi dan lagi ia dapatkan hari ini.
.
.
.
.
.
.
Pagi-pagi Neo sudah mendapati tamparan dari tangan Mama tirinya. Ia tak tau letak kesalahannya di mana. Ia benar-benar tak tau."Ampun Ma.... Maaf"
Hanya kata-kata itu yang ia lontarkan namun wanita itu masih menamparinya juga menjambaki rambutnya. Walau tubuh kurusnya telah berhias memar sana-sini, nyatanya tangan wanita itu masih kerap kali melayangkan pukulan. Sakit. Sangat sakit.
"Kamu tahu? Seharusnya kamu mati saja. Bahkan Papa kamu sudah tak perduli dengan anak menjijikkan seperti kamu"
Neo berdesir lirih. Ia sudah tak kuat untuk menyerukan rasa sakit akibat pukulan wanita itu. Tubuh kurusnya limbung dan jatuh ke lantai. Wanita itu mendengus dan meninggalkan Neo yang meringkuk dan menangis di lantai.
Ia tak punya siapa-siapa lagi. Papanya bahkan sudah tidak memperdulikan nya. Ia sudah tiga tahun tidak bertatap muka dengan laki-laki itu. Papanya terlalu kecewa juga jijik padanya yang seorang gay. Seharusnya ia tak mengakui hal itu tiga tahun yang lalu. Ia seharusnya tak menambah jarak antara dirinya dengan Papanya. Ia ingin minta maaf kepada Papanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Sorry (END)
Teen FictionMaaf..... Maaf karena aku mencintaimu Maaf karena aku tak bisa melupakanmu Maaf karena aku sudah membuatmu susah maaf..... Tapi aku akan tetap mencintaimu, Gilang.