Aku sedang berada di restoran dekat sekolahku. Setelah memesan sebuah paket yang terdiri atas ayam paha atas, nasi, dan es teh, aku kembali duduk di salah satu meja pelanggan. Tak jauh dari pintu masuk.
Kenapa aku melakukan hal ini? Pertama, aku bosan dengan masakanku yang itu-itu saja. Telah membawakanku lauk dari rumah yang tentu saja harus lama kadar pembusukannya.
Kedua, aku bosan dengan suasana kamar yang sempit, gerah, dan seperti tidak ada ruang untuk bergerak.
Hingga tiba-tiba, ponselku berdering beberapa kali menandakan sebuah pesan singkat masuk.
Dari: Farcha
Ada tilawah dadakan di sekolah. Soalnya bsok Ust. Shomad gabisa ngajar, ada acara katanya. Cpt kesini. Cuma ada aku sama Mbk Mida.
Farcha, gadis yang merupakan teman se-kostku itu. Farcha dan aku belum bisa dikatakan dekat, namun interaksi antara kami semakin kuat karena seringnya berpapasan di kost.
Aku sangat iri padanya. Suaranya bening dan lantang. Rahasianya adalah saat kecil ia selalu meminum segayung air mineral dan memuntahkannya. Satu lagi, ia sering berlari dan berteriak ketika kecil, memutari sawah yang berada di belakang rumahnya. Itu yang dikatakannya padaku.
Sampai sekarang, aku pun tak tahu metode kerja kedua tips itu.
Kumasukkan ponsel pada tas ranselku. Menghabiskan dengan paksa semua makananku—meski cuma satu—dan segera berjalan cepat menuju sekolah.
Ustadz Shomad, jangan mulai dulu belajarnya....
Kuputuskan berlari ketika kusadari jarakku dan sekolah masih terasa jauh.
Sampai juga!
Sepatu hitamku kulepaskan begitu saja dalam rak di depan ruang kepala sekolah yang menjadi tempat rutin ekskul ini.
Kubuka kenop pintu perlahan namun tak sabar. Kudapati tujuh orang disana. Farcha, Mbak Mida, Amel, Dayat, Mbak Nisa, Mbak Dhini, dan tentu saja Ustadz Shomad.
Kusalami Ustadz Shomad dan segera ikut duduk melingkar bersama keenam orang muridnya. Pelajaran mengaji pun dimulai. Ustadz Shomad menjelaskan lagu apa dulu sebelum mengucapkan sebuah ayat.
Penjelasannya jelas dan runtut. Kulihat garis-garis wajahnya yang mulai menua. Usia yang mungkin sudah tak muda lagi masih membuatnya semangat dalam mengajarkan ilmu.
Kerap kali beliau bercerita bahwa beliau sering tidak mengajar karena penyakit diabetes yang akhir-akhir ini terus kambuh.
Beliau tidak bisa duduk lebih lama lagi. Sungguh, aku dan tentu saja yang lain sangat bersedih mendengar hal ini. Namun, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin hanya menimba ilmu padanya membuat beliau senang bukan main.
Dan tentu saja mengajarkannya pula pada yang lain.
Bismillaah, Allah pasti membantumu, Oci.
***
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Aku baru bisa bernafas lega, lalu membaringkan punggungku yang mulai kaku.
Tugas Bahasa Indonesia kali ini banyak sekali.
Kubuka ponsel di sampingku yang sepertinya mulai menjamur karena kuabaikan.
Data seluler kuaktifkan. Barangkali terdapat info penting yang kulewatkan.
Aku membuka chat satu persatu. Membacanya perlahan namun pasti. Hingga aku menangkap sebuah private chat yang sepertinya sangat penting.
Tujuh pesan dari orang itu segera kubaca. Dari Mbak Nurma, tetangga kecilku yang saat ini bersekolah di tempat yang sama denganku.
Benar saja, ternyata hal itu memang penting.
Dek, kamu bisa ngisi acara Idul Adha besok lusa?
Tujuh pesan itu isinya sama semua. Dan beberapa detik kemudian, aku menyadari sesuatu.
"Aku yang diminta ngisi!?" Seruku hampir berteriak. Segera kubekap mulutku sendiri yang tak bisa bekerja sama dengan keadaan.
Langsung kuketikkan balasan untuknya.
Aku menyadari kekuranganku. Sangat sadar. Dan ketika aku mulai membandingkan diriku dengan Farcha, aku merasa tak ada apa-apanya.
Sebelum ada yang bertanya, akan kuluruskan. Aku diminta qiro'ah di promnight kemarin adalah atas usulan Hida yang belum tahu bagaimana aku qiro'ah. Ia terburu-buru sekali memilihku, padahal masih ada Farcha. Mungkin saja karena Hida tidak mengenal Farcha.
Semenit kemudian, terdapat pesan baru masuk. Dari Mbak Nurma ternyata.
Mbak yakin kamu bisa, dek. Ada sinar harapan ketika Mbak milih kamu. Udah, percaya sama Mbak. Katamu ortu kamu pingin kamu jadi qori' kan? Mungkin ini langkah awalnya.
Kuingat kembali ucapan orangtuaku. Terutama Bundaku.
"Bunda pengen punya anak bisa qiro'ah. Apalagi Ayah."
Kutepiskan segala egoku demi orang yang melahirkanku juga merawatku. Bismillaah. Aku ingin membuat murkanya padaku hilang, semoga ini adalah jalannya. Tak bisa jika terus-terusan bermusuhan dengannya, 'kan? Meskipun hakikatnya aku tak menginginkannya. Ini hanyalah ujian.
Baiklah, Mbak.
Segera kumatikan ponselku. Kucoba pejamkan mataku setelah merapalkan beberapa do'a.
Tiba-tiba terlintas wajah bunda.
Aku sadar, kesempatan yang Allah berikan untukku saat ini tak boleh disia-siakan. Boleh jadi, kesempatan itu melahirkan kesempatan-kesempatan yang lain. Siapa tahu?
Mataku terkatup sempurna. Alam mimpi menunjukkan portalnya. Menarikku jauh lebih dalam.
***
YOU ARE READING
Ayat Cinta Sang Qori' (SUDAH DITERBITKAN)
SpirituellesSemua orang yang hidup diberi kesempatan untuk bermimpi. Hanya saja, mimpi-mimpi itu akan dipilah dan diterbangkan lagi oleh Tuhan, sehingga menjadi nyata. Rosiana Eva Qoshrina, bermimpi menjadi seorang qori'. Demi ayahnya, ia rela dilempar hingga j...