"Matcha latte, satu"
"Ada tambahan lagi mbak?" Orang yang ditanya hanya menggeleng sebagai jawaban.
Setelah mengeluarkan beberapa lembar uang dan membayar, perempuan berbadan ramping itu melangkahkan kaki menuju pintu cafe. Belum sempat memegang gagang, tanpa aba-aba, pintu tiba-tiba terbuka.
Gisya terhuyung kebelakang akibat benturan lumayan keras yang mengenai kepalanya, bersamaan dengan minumannya yang tumpah. Sambil memegangi kepalanya yang terasa pening, ia mendongak untuk melihat siapa yang telah membuatnya seperti ini.
Gisya menaikkan sebelah alisnya. Begitupun yang dilakukan si pelaku.
Diam. Itulah yang dilakukan oleh keduanya.
"Eh aduh, sorry sorry kak. Abang gue ga sengaja"
Ucap Hilda dengan nada cemas. "Ih Ardan, lo sih ga liat-liat" bisiknya.Ardan tidak mendengarkan apa yang diucapkan oleh adiknya. Atau mungkin, pura-pura tidak mendengar? Entahlah, ia tengah sibuk menatap perempuan di depannya dengan tatapan yang tak bisa diartikan.
"Lo—" Ucap Ardan seraya menunjuk cewek yang kini terduduk di lantai. "—Buta!"
Hilda melongo tak percaya.
Tanpa berniat menghiraukan ucapan cowok didepannya, Gisya segera bangkit, dan melewatinya begitu saja. Tanpa raut wajah emosi, dan tanpa mengucapkan sederet pun kata.
Ardan berbalik badan, memandangi perempuan itu sejenak, dan tersenyum tipis. Ralat. Sangat tipis.
****
Ada beberapa hal yang tidak disukai Gisya di dunia ini, salah satunya adalah hujan. Entah mengapa. Mungkin saja, ia tidak memiliki alasan spesifik mengapa ia begitu membenci hujan.
Atau mungkin, karena kepingan demi kepingan memori masa lalunya kerap kali muncul dalam benaknya jika hujan datang. Who knows?
Sejak tadi, Gisya hanya menatap kosong kearah jendela apartemennya. Memerhatikan langit yang sedang menumpahkan tangisnya.
Kini, Ia beralih mengambil ponsel nya dan berniat untuk menelpon seseorang.
"Udah di apartemen, Sya?" Ujar cewek di seberang telepon.
"Tadi lo bilang ke gue harus hubungin lo kalo udah nyampe di apart, menurut lo gue dimana?" Jawab Gisya ketus.
"Santai mba, jangan ngegas napa". Gisya memutar bola matanya malas. "Oh iya, kapan lo mulai masuk ke sekolah baru lo? Semuanya udah keurus?"
"Besok kayaknya, udah"
"Kalo udah punya temen baru jangan lupain gue! Terus ntar, kalo gue ada waktu kapan kapan gue ke bandung ya!"
"Iya, Monica" jawab Gisya.
"Yaudah, lo sekarang istirahat deh, besok yang semangat sekolah nya. Love youuu!" Lalu sambungan telepon terputus. Gisya tersenyum tipis, teringat disaat ia sedang membutuhkan support, Monica lah yang selalu ada disampingnya memberi semangat.
Ia kembali meletakkan ponselnya diatas nakas, mematikan lampu, dan bersiap untuk tidur.
Setidaknya, dengan keberadaan gue disini, gue bisa sedikit lebih tenang.
Updated! Jangan lupa vote nya ya!
Thanks🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
Teen FictionGisya Hexa Bagi Gisya, kesempatan kedua itu tidak ada gunanya. Karena kesempatan kedua hanya dimanfaatkan oleh mereka yang menggunakan kata 'maaf' sebagai alat pelindung diri, kemudian mereka akan mengulangi kesalahannya kembali. Ardan Putra Sebali...