Gisya sudah tiba di sekolah barunya. Kini, ia tengah berdiam diri di depan gerbang, menatap logo besar yang bertuliskan 'SMA Mentari' di atasnya. Gisya menarik napas sebentar untuk menghisap udara segar pagi, namun niatnya terurung karena mendengar suara klakson berulang kali bergantian dengan suara yang tedengar lantang. "Geser woi!"
Gisya berbalik badan, matanya tertuju pada sebuah mobil yang tadi membelakanginya. Ia melipat tangannya di dada, dan menaikkan sebelah alisnya. Seakan-akan ia sedang menantang orang yang tadi meneriakinya.
"Minggir atau gue lindes lo." Tidak ada jawaban dari Gisya, ia tetap teguh pada pendiriannya, berdiam diri sambil menatap cowok yang sejak tadi sudah membuka kaca mobil dan menatap sinis ke arahnya.
"Oke kalau itu mau lo" ucap cowok itu kembali. "Gue gabakal segan segan ngelindes lo, sekalian sama otak lo yang bego itu!" Sesaat kemudian, si empunya mobil sudah menghidupkan mesin mobilnya, namun perempuan di seberang nya masih belum juga menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan bergerak sedikit pun. Besar juga nyali nih anak, batinnya.
"Lo gila?!" Bersamaan dengan seruan itu, Gisya terhuyung kebelakang akibat dorongan yang diterimanya secara tiba-tiba. Ia refleks memejamkan mata, dan dirinya berakhir mengenaskan di atas tanah. Untungnya sebelum itu terjadi, sebuah tangan sudah lebih dulu melingkari pinggangnya, menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Perlahan, Ia membuka mata dan mendongak.
Mata Gisya bertemu dengan mata pemilik tangan yang masih setia menempel pada pinggangnya. "Ouchh..." tanpa babibu, cowok dihadapannya melepaskan dirinya, dan sekarang Gisya benar-benar terjatuh.
Seperti baru tersadar apa yang terjadi, para siswa disekeliling Gisya berteriak histeris, seakan-akan mereka baru melihat pengalaman langka saja. Sadar ia tengah menjadi tontonan para siswa disekelilingnya, Gisya refleks berdiri, dan berjalan cepat memasuki halaman sekolah.
Sungguh, ia tidak peduli dengan cowok sialan yang tadi berniat untuk mencelakai nya. Toh, jika dia memang ingin, tak ada yang peduli padanya juga. Tetapi, jika boleh jujur, ia sedikit bertanya-tanya tentang cowok yang tadi membantu dirinya.
Namun, bukan Gisya namanya jika dia benar-benar peduli dengan sekitarnya. Setelah dipikir-pikir untuk apa juga dia memikirkan cowok itu. Lagi pula, niat nya hanya membantu. Tidak lebih, kan?
****
Sama hal nya dengan kelas lain, disaat jamkos alias jam kosong, XI MIPA 3 benar-benar tidak terkontrol. Semuanya sibuk dengan dunia nya masing-masing. Ada yang membaca novel, menjahili temannya, mencoret-coret papan tulis, main kejar-kejaran, dan lain-lain.
"Oi, Tris! Sini lo! Katanya pernah ikut lomba lari marathon, masa ngejer gue aja kaga bisa lo" Tristan—orang yang diteriaki, berhenti dengan napas yang tersengal-sengal. "E-ehh lo tuhh—" ucapannya terhenti karena menyadari sesuatu.
"Kenapa lo diem? Takut? Hilih cupu banget! Kejer gue nih kalo bi—eh, eh aduhhh" Reynald sudah pasti akan mengeluarkan sumpah serapah nya jika orang yang menjewernya sekarang bukan Bu Reni, wali kelas nya.
"Apa? Mau nyolot? Kalian berdua ini ya tidak ada henti-hentinya buat kekacauan. Astaghfirullah, lihat sekeliling kalian! Pokoknya saya tidak mau tahu, sebelum pergantian jam berikutnya kelas harus sudah bersih kembali" Bu Reni memijat pelipisnya, tidak habis pikir dengan kedua anak muridnya ini. "eh tapi bu—" Tristan yang baru mau angkat bicara otomatis bungkam, akibat tatapan tajam Bu Reni.
Tok tok tok
"Iyaa, silahkan masuk" muncul seorang perempuan dari balik pintu. "Maaf bu saya terlambat, tadi saya ke ruang kepsek dulu bu" ujar perempuan itu lembut.
"Oh iya tidak apa-apa. Perhatian anak-anak, kita kedatangan murid baru hari ini. Silahkan perkenalkan dirimu"
Mendengar perintah tersebut, perempuan itu membuka masker yang sejak tadi ia pakai, dan memasukkannya kedalam tas. Seketika semua memandangnya melongo. "Nama, Gisya Hexa. Umur, 16 tahun." Tidak ada respon, kelas mendadak jadi sunyi. Dan semua mata seakan fokus pada satu titik, Gisya.
Satu detik, dua detik, tiga detik—"O-EM-JI. CANTIK BANGET! GAKUKU ABANG NENG GAKUKU!" tepat setelah itu, kelas pun jadi ramai akibat berbagai macam seruan yang dilontarkan.
"Udah ada yang punya belom? Kalo udah kecewa nih, kalo belom sama abang aja nyok"
"Yhee, mana mau dia sama lo. Muka lo aja mirip pantat panci. HAHAHA"
"Yaudah si sempak. Diem aja lo."
"Boleh minta nomor telpon nya ga nihh?"
"Minta id line nya dongg"
"Sama gue aja, mumpung jomblo nih"
Sebelum muncul teriakan yang lain, bu Reni dengan segera menghentikan. "Eh udah-udah jangan teriak-teriak lagi"
"Hanya itu yang ingin kamu sampaikan Gisya?" Yang ditanya hanya menggangguk sebagai jawaban. "Oke, sekarang kamu bisa memilih tempat duduk, hanya tersisa beberapa yang kosong. Selain itu, ada pertanyaan?" Gisya menggeleng. "Yasudah kalau begitu, saya masih ada urusan lain, saya tinggal ya anak-anak, permisi"
Gisya mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap menemukan tempat yang pas untuk ia duduki. "Ssst.. sini, sini" bisik seorang siswi di meja barisan kedua. Gisya menoleh, "iya, lo. Sini"
Ia pun menghampiri siswi tersebut, "kenapa?"
"Lo duduk di sebelah gue aja ya, sebenernya sih ada orang, tapi lagi gak masuk hari ini. Besok gue coba omongin deh sama dia. Oh iya, salken gue Wulan" ucapnya seraya menjulurkan tangan, berniat untuk mengajak berkenalan. Gisya pun membalas tangan perempuan disampingnya, "gue rasa, gue gaperlu ngenalin nama gue untuk yang kedua kalinya, am i right?"
"Hahaha, iya-iya. Gue panggil Gisya aja ya. Pindahan dari mana?"
"Jogja" balas Gisya. Wulan mengangguk-anggukan kepalanya, tanda bahwa ia mengerti. Setelah itu, kelas menjadi sunyi kembali karena guru yang mengajar sudah masuk kedalam kelas.
****
Waktu menunjukan pukul tujuh malam saat Gisya tiba di kamar apartemennya dan mengganti seragam sekolah nya dengan pakaian tidur. Sejak pulang sekolah tadi, ia memutuskan untuk pergi ke cafe yang letaknya tidak jauh dengan sekolahnya.
Jika ditanya mengenai hari pertama ia masuk ke sekolah barunya, semuanya berjalan tidak sesuai dengan yang ia harapkan, mulai dari tatapan orang-orang disekitarnya ketika melihatnya, terganggu akibat godaan demi godaan yang ia dapat dari siswa yang ditemuinya, dan terlebih lagi kejadian tadi sore yang menimpanya.
Gisya sedang berada di koridor kelas XI, ia sedang berjalan menuju kelasnya untuk mengambil barang yang ketinggalan. Ditengah perjalanan, ia mendengar suara langkah kaki dari arah belakang. Karena penasaran, Gisya pun menoleh dan anehnya ia tidak menemukan siapa-siapa. Pasalnya, bel pertanda pulang sekolah sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu dan sekolah sudah sangat sepi.
Dengan perasaan tidak karuan,ia mempercepat langkahnya dan mengikuti kemana pun kakinya membawanya, ia bahkan sudah lupa niat awalnya kesini. "Ah iya! Tangga!" ucapnya dalam hati.
Gisya berhenti dengan napas yang tersengal-sengal, sekarang dirinya sedang bersembunyi di tangga yang menjadi batasan antara lantai dua dan lantai tiga. Ia menarik napas sebentar, lalu mengintip ke arah koridor dengan hati-hati.
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki menggunakan jaket bomber berwarna army dari arah yang Gisya lewati tadi. "Ck kemana tuh anak" ucapnya dengan nada kesal. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi, laki-laki itulah yang sejak tadi membuntuti Gisya.
Sialnya, Gisya tidak dapat melihat wajah lelaki itu karena posisinya yang membelakangi nya. Nihil, akhirnya cowok itu beranjak dari tempatnya.
Setelah dirasa aman, Gisya keluar dari tempat persembunyiannya dengan perasaan lega sekaligus penasaran. Dipikirannya hanya terlintas satu kalimat, "siapasih dia? Kenapa dia ngikutin aku?".
Gisya bergerak untuk mematikan lampu kamarnya, yang ia butuhkan sekarang adalah istirahat dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Ya, semoga.
~~
Maaf lama publish nya yaa hehee.
intinya,
happy reading, peeps!
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
Teen FictionGisya Hexa Bagi Gisya, kesempatan kedua itu tidak ada gunanya. Karena kesempatan kedua hanya dimanfaatkan oleh mereka yang menggunakan kata 'maaf' sebagai alat pelindung diri, kemudian mereka akan mengulangi kesalahannya kembali. Ardan Putra Sebali...