Bagian 2

572 38 2
                                    

Emak baru saja merapikan piring kotor di atas meja. Tadi ada dua orang pekerja proyek jalan tol yang memesan gado-gado.

Sesaat kemudian, Emak melihat sebuah mobil berbadan besar memasuki halaman rumahnya, lalu parkir tepat di samping warung.

Perempuan itu memperhatikan dengan seksama. Ketika dua orang pemuda berkulit putih turun dari mobil, melangkah masuk ke dalam warung miliknya.

Melihat dari gaya serta penampilannya. Dua orang pemuda itu datang dari kota. Dan seingat Emak baru sekali ini, mereka mampir kesini.

Segera Emak menyongsong kedatangan mereka dengan sambutan yang hangat.

"Maaf, ... Anak berdua mau pesan apa?" tanya Emak ramah.

"Disini ada menu apa aja, Bu?"
Felix bertanya. Kemudian duduk di kursi kayu panjang tanpa sandaran. Disusul dengan Jojo yang duduk di sebelahnya.

"Panggil Emak aja, Nak. Orang desa dan pelanggan di sini biasa manggil Emak," ralat Emak sambil menunjuk ke dirinya sendiri.

Felix dan Jojo saling berpandangan lalu serentak mengangguk.

"Di sini ada gado-gado, nasi goreng, mie goreng dan mie rebus. Minumnya ada kopi, teh sama air jeruk." Emak menerangkan.

"Gado-gado enak, tuh. Aku pesan satu sama air jeruk, ya!" Jojo mengacungkan tangan.

Felix juga ikut memesan makanan dan minuman yang sama. Emak pun mulai menyiapkan pesanan mereka. Beberapa jenak kemudian menghidangkannya di atas meja kayu panjang.

Felix dan Jojo begitu menikmati pesanan mereka. Sambil terus berbincang dan sesekali tertawa bersama.

"Eh, lihat, tuh. Ada cewek cakep."
Jojo menunjuk ke arah Upik yang baru saja keluar rumah dan berjalan menuju warung dari arah pintu belakang.

"Sstt ... dasar mata keranjang. Nggak bisa lihat cewek cakep, lu." ucap Felix setengah berbisik sambil menyikut lengan Jojo. Membuat sepupunya itu meringis.

"Ah, tapi sayang. Tuh, cewek jelas bukan tipe Gue."
Jojo menggantungkan kalimatnya. Sinis.

"Emang, napa Bro,?"
Felix jadi penasaran.

"Lihat, ...  tampilannya. Udik banget. Dari kepala, hingga ujung kaki. Semuanya tertutup. Nggak ada yang bisa dinikmati, selain mukanya doang."
Jojo memonyongkan bibirnya entah berapa senti.

"Dasar Piktor, Lu."
Maki Felix pelan. Jojo manyun.

Setelah menghabiskan pesanannya. Felix dan Jojo duduk santai sejenak.

Tak berapa lama, sebuah mobil Pickup berhenti dipinggir jalan. Tepat di depan warung Emak. Kemudian tujuh orang lelaki, dengan pakaian seragam khas pekerja lapangan turun bersamaan.

Semuanya masuk ke dalam warung. Sambil sesekali tertawa, entah apa yang mereka bicarakan.

"Maak, gado-gado tujuh sama teh hangatnya, ya."
Pesan salah seorang diantara mereka. Lalu segera mengambil posisi tempat duduk masing-masing. Masih sambil terus bercerita dan tertawa.

Namun salah satu diantara mereka, tampak melangkah ke arah belakang etalase. Dimana Emak dan Upik tengah bersiap-siap hendak membuatkan pesanan.

"Hai, cantik. Ku lihat, dirimu makin cantik aja."
Lelaki bertubuh tinggi tegap dan besar itu, menyeringai lebar, seraya mengedip-ngedipkan sebelah matanya.

Upik hanya menunduk, sambil terus bekerja menyiapkan pesanan. Sebelumnya, lelaki raksasa berkulit gelap di depannya. Sudah beberapa kali mampir ke warung Emak. Sikapnya selalu menyebalkan bagi Upik. Pernah Upik menyampaikan kekesalannya kepada Emak. Karena setiap ke warung dan berjumpa dengan Upik. Lelaki itu selalu menggodanya. Namun Emak malah menasehatinya.  Supaya tetap bersikap ramah kepada setiap orang yang makan di warung mereka.

"Selagi mereka tidak bersikap kurang ajar, ya sudah. Di diamkan aja. Nggak usah diladenin. Nanti juga bakal bosen sendiri."
Begitu nasehat Emak. Akhirnya Upik terpaksa diam. Mencoba menahan rasa kesal dihatinya.

"Mak, ... Upik udah ada calonnya apa belum?. kalo belum, buat aku aja, ya Mak."
Lagi, lelaki itu menyeringai lebar. Membuat Upik semakin muak. Tapi ia tak berdaya, untuk menunjukkan kekesalannya.

Emak hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Tangan tuanya dengan cekatan menyiapkan  segala sesuatunya.

Diam-diam Felix memperhatikan gelagat yang tidak menyenangkan itu. Dari pakaian seragam yang mereka kenakan. Dia tau persis, bahwa mereka semua pekerja proyek jalan Tol. Yang kini tengah ditangani oleh perusahaan kontraktor milik Papinya.

"Upik, ... tolong buatkan minumannya, ya. Emak mau ambil piring dulu."
Perintah Emak, ketika melihat persediaan piring di etalase tidak lagi mencukupi. Karena sudah banyak yang kotor dan belum sempat dicuci. Tanpa menungu anggukan Upik, Emak melangkah cepat masuk ke dalam rumah.

Melihat Emak pergi. Lelaki itu seakan tak ingin melewatkan kesempatan untuk menggoda Upik lebih dekat.

Matanya menatap jalang. Seringainya makin tampak menyeramkan. Mulutnya mendesis, bagai singa yang siap menerkam. Hampir saja, tangan berkulit gelap dan kasar itu, menyentuh tangan Upik.

Cepat Upik menghindar dan menjauh. Sorot matanya menyiratkan rasa terkejut sekaligus ketakutan.

"Hei, Bung!. Harap sopan sedikit!"
Hardik Felix. Kini dia sudah berdiri dibelakang lelaki bertubuh besar, yang tengah asyik menggoda Upik.

Felix yang sedari tadi memperhatikan kejadian itu. Entah mengapa jadi terpancing emosinya. Sisi kelelakiannya merasa terusik. Menyaksikan seorang perempuan dalam posisi lemah yang tengah menjadi objek permainan. Sementara dilihatnya, rombongan pekerja tadi. Tidak satupun yang berani mengingatkan lelaki hitam raksasa ini.

Apalagi dilihatnya Upik sangat ketakutan. Sepertinya gadis itu tidak berdaya untuk membela dirinya sendiri.

"Eh, ... siapa Elu,?! berani-beraninya ngelarang, Gue."
Tantang lelaki bertubuh kekar itu.

Kini mereka berdua berhadap-hadapan dengan jarak yang cukup dekat. Posisi mereka sudah terlihat bersiap siaga untuk saling menyerang.

"Aku Felix. Owner kontraktor tempat kalian bekerja."
Ucap Felix dingin.

"Hahaha, ... "

Bukannya terkejut Si Hitam Raksasa itu, malah tertawa mengejek. Sudah bisa diperkirakan, bahwa lelaki berwajah oriental dihadapannya itu. Bukanlah lawan yang sebanding bagi dirinya.

"Hei!, ... jangan mentang-mentang Elu anak Cukong. Terus mau seenaknya ngatur-ngatur orang. Nih, rasain bogem, Gue."

Bukk!

Lelaki hitam kekar itu, melayangkan tinjunya. Tepat mengenai bibir Felix. Tubuhnya terhuyung kebelakang. Membentur etalase kayu di dekatnya. Membuat etalase itu jatuh terguling. Menumpahkan semua isinya. Aneka jenis bahan makanan, baskom dan kuah gado-gado bercampur aduk dengan piring dan gelas yang berpecahan. Semua berantakan, centang prenang.

Belum sempat mengatur keseimbangan tubuhnya. Si Hitam itu, menarik kerah bajunya. Dan menyeret Felix ketengah-tengah ruangan. Lalu mendorongnya dengan kuat. Hingga tubuh Felix kembali membentur meja. Dan meja itupun roboh. Membuat semua yang ada diatas mejapun berjatuhan. Gerakan lelaki bertubuh besar itu, sangat cepat. Seolah tak memberikan kesempatan kepada Felix untuk menghindar, apalagi melawan.

"Astaghfirullah, ... ada apa ini?, ... Simon, ... sudah, sudah, jangan berkelahi disini."
Emak yang baru datang. Tergopoh-gopoh, melerai Simon dan Felix.

Ke enam pekerja yang sedari tadi hanya menonton saja. Akhirnya juga ikut membantu menenangkan Simon. Dengan sigap mereka mengunci tangan Simon. Lalu memaksanya keluar dari warung. Dan merekapun pergi. Tanpa sempat menikmati pesanan. Meninggalkan warung Emak dalam kondisi berantakan.

Bersambung

Pelarian di Malam PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang