.
..
...
....Sudah cukup melelahkan bagi Genta untuk berdiri setiap hari di halte bus sepi di depan sekolahnya. Seperti sekarang ini, jam sudah menunjukkan pukul dua siang sementara Genta masih duduk menunggu sesuatu yang akan datang menjemputnya, entah itu Papinya atau mungkin bus kota yang tak kunjung datang.
Terik mentari cukup menyengat kulit kuning langsat milik Genta. Tidak ada angin yang berhembus, membuat gadis yang tengah mengenakan seragam putih abu-abu itu mengipas-ngipaskan tangannya, menciptakan angin dari lambaian tangannya yan gemulai. Tetap saja, keringat masih membasahi dahi dan leher jenjang gadis itu. Rambutnya ia kucir, menyisakan beberapa helai rambut yang tak termasuk pada kuciran rambut Genta. Tiap hari dengan wajah lelah dan lesu, Genta selalu berdiri menunggu ketidakpastian di sana.
"Permisi, dek."
Seorang lelaki muda berkemeja abu-abu tua dengan kombinasi celana bahan dan sepatu pantofel mengkilap tiba-tiba berdiri di samping Genta. Mereka sama-sama tidak memilih duduk karena bangku halte tersebut cukup kotor, sehingga dapat menimbulkan noda jika tetap diduduki. Genta sedikit terpana melihat lelaki muda di sampingnya. Lelaki muda tersebut tampak sibuk melihat jam tangan, kemudian celangak celinguk melihat kiri dan kanan, seperti menunggu sesuatu. Sama persis seperti yang dilakukan Genta.
"Nungguin bus juga, kak?" Genta memberanikan diri untuk bertanya pada lelaki muda di sampingnya. Lelaki itu hanya mengangguk sembari sedikit tersenyum.
Mereka terpaku dalam keheningan sampai akhirnya bus kota datang. Mereka sama-sama memasuki bus tersebut. Selama beberapa detik, sepasang mata mereka berdua berpendar ke seluruh penjuru bus, mencari tempat duduk terpisah yang sekiranya kosong. Namun hasilnya nihil. Mereka akhirnya saling tatap. Ironi sekali, karena tempat duduk di bus itu hanya tersedia satu pasang pada bagian tengah. Pas untuk mereka berdua saja. Semesta seolah ingin mereka untuk bercengkrama lebih lama.
"Duduk di sana saja. Sudah tidak ada yang kosong," lelaki itu, entah lancang atau refleks, ia menarik pergelangan tangan Genta dengan sedikit keras, membuat gadis itu mau tidak mau mengikut pada lelaki yang sama sekali tidak dikenalnya itu. Genta pun memilih duduk di sebelah jendela, sementara lelaki itu pada bagian luar.
Canggung, itu yang dirasakan Genta. Ia hanya bisa memojokkan badannya ke bagian jendela, lantas menatap nanar ke bangunan-bangunan yang dilewati selama bus kota tersebut berjalan. Tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Sementara Genta menatap kosong ke bagian jendela, lelaki muda yang belum diketahui namanya oleh Genta itu hanya sibuk memainkan ponsel dengan earphone yang menggantung di telinganya sebelah kanan. Lelaki itu melirik Genta sesekali, lantas menyodorkan earphonenya yang sebelahnya pada Genta. Genta menoleh, sedikit terkejut.
"Mungkin kamu bisa dengar lagu yang saya dengar ini. Semoga suka."
Genta pun langsung memasang earphone tersebut di telinga kirinya. Senyum pun merekah di bibir tipis Genta tatkala alunan lagu dari Payung Teduh berjudul Resah mengalun di liang pendengarannya. Entah bagaimana semesta mengetahuinya, tapi harus Genta akui mereka punya selera musik yang sama. Tanpa disadari, mereka pun bersenandung bersama-sama, diiringi tawa-tawa kecil dari Genta tatkala lelaki muda yang masih tidak diketahui namanya ini memeragakan lirik lagu tersebut dengan gaya-gaya yang lucu.
"Nama saya Finto. Saya sudah tahu nama kamu. Genta Millenia Putri, 'kan? Kamu kelas dua belas, bersekolah di SMA Garuda, penyuka Payung Teduh garis keras, dan kalau di kantin suka pesan nasi goreng dan telurnya setengah matang."
Genta kontan terpana. Ia begitu terkejut tatkala lelaki bernama Finto itu mengenal dirinya sampai se-detail itu. Padahal, ia belum pernah kenal Finto sebelumnya. Jangankan kenal, bertemu saja mereka belum pernah. Benak Genta secara spontan menimbulkan urutan pertanyaan-pertanyaan yang hendak Genta tanyakan, namun tidak bisa. Keterkejutan Genta menghapus semua rasa penasaran itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Couple At The Bus Stop [ONE SHOT]
Short StoryMungkin kita merasa, cinta datang ketika kita kejar. Tapi tidak bagi Genta. Gadis beruntung itu tidak mengejar apapun, tapi cinta datang padanya dengan cara yang begitu misterius ketika ia menunggu di halte bus. Sekejap mata, cinta menghampirinya. ...