Prolog : 18 jam kematian
Senin, 6 Agustus 2007, pukul 09.00
Perutku dibersihkan.
Hanya butuh sekitar lima menit, seperempat liter cairan bening yang dimasukkan ke dalam perutku bereaksi amat hebat, seluruh isi perut terasa ikut jebrol. Setengah jam kemudian, cairan bening itu dimasukkan lagi ke tubuhku, dan segala yang ada di dalam perut seolah memaksa segera dikeluarkan, lagi. Meskipun tak ada apa-apa selain cairan bening itu sendiri.
Setelah tiga kali gagal operasi dengan sebab-musabab yang berbeda, akhirnya tubuhku akan menyambut tamu baru, liver seorang pemuda berusia 25 tahun, hari ini. Anak muda itu akan dipotong livernya separuh, dan potongan itulah yang akan dicangkokkan ke dalam tubuhku. Jika semuanya berjalan lancar, pemuda itu akan hidup dengan separuh liver yang terus bertumbuh, seperti aku yang kelak akan memulai hidup dengan liver berusia muda-keluaran 1985.
Tak seorang pun bisa menerka takdir yang akan dijalani sepotong liver itu.
Sewaktu kecil, aku tak pernah membayangkan suatu ketika akan terbaring dikamar operasi dan menunggu detik-detik menegangkan seperti sekarang. Sewaktu kecil, aku tidak pernah berfikir sejenak pun bahwa liver bisa dipotong dan di donorkan kepada orang lain. Sayangnya, hal ini tak mungkin dilakukan kepada Ibu. Bukan semata karena teknologi dan ilmu kedokteran, tapi karena kalaupun memungkinkan, kami tak punya biaya untuk operasi walaupun rumah dan seluruh isinya dijual. Sewaktu kecil, aku tak tahu bahwa liver yang dipotong itu bisa tumbuh kembali dengan baik dalam waktu tak terlalu lama. Sekarang, hari ini, di kamar operasi, segera kumasuki gerbang kelahiran baru, jauh dari tanah kelahiran pertama, Kebon Dalem.
Lalu, melintaslah kenangan demi kenangan di benakku. Tentang Ibu, Paman, dan kakakku yang menderita penyakit seperti yang kuderita, dan sebab kemiskinan takdiremanggil mereka dalam usia yang sangat muda. Melintas pula wajah Bapak, lelaki yang mengenalkan kerasnya kehidupan kepadaku, dengan tatapam matanya yang tegas tapi menenagkan. Melintas pula wajah adikku, Jungkook, yang menemani masa kecil penuh keperihan dan kepedihan. Juga wajah kakakku, Mbak Irene, yang ikhlas meninggalkan gajinya di kampung halaman demi Bapak, Aku, dan Jungkook. Melintas wajah banyak orang yang membuat masa kecil yang perih itu seperti seruntun permainan yang memantang dan menegangkan.
Kuputuskan untuk mengirim pesan kepada adikku, sekedar berkabar bahwa hari ini liver baru akan dimasukkan ke dalam tubuhku dan aku akan baik-baik saja. Tapi, tidak demikian dengan Mbak Irene, Aku tidak mungkin mengabarinya hanya lewat pesan pendek. Aku harus hati-hati. Usianya mulai tua, aku tak mau Mbak Irene terkejut. Maka, aku telepon langsung dari lantai 11 rumah sakit tempatku dirawat.
"Mbakyu, doakan aku, ya?"
Terdengar helaan napas. "Kenapa?"
Mbak Irene pasti terkejut karena aku jarang menelepon hanya untuk meminta agar didoakan. Sementara aku sendiri tidak mungkin menceritakan bahwa sore nanti aku akan dioperasi, perut dibedah lantas liver diangkat dan dikeluarkan dari rongga perut-kemudian diganti dengan sepotong liver baru-lalu dijahit agar bertaut seperti semula. Alu tidak mungkin menceritakan dengan gamblang karena hal itu pasti akan membiat Mbak Irene cemas.
"Nanti sore aku dioperasi, Mbakyu..."
"Operasi apa?"
"Liver..."
"Oh, Mbakyu doakan semoga lancar dan berhasil."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepatu Taehyung
Teen FictionKehidupan mendidik Taehyung kecil dengan keras. Baginya, rasa perih karena lapar adalah sahabat baik yang enggan pergi. Begitu pula dengan lecet di kakinya, bukti perjuangan dalam meraih ilmu. Ya, dia harus berjalan puluhan kilometer untuk bersekola...