1 : Tanah Tebu

8 2 0
                                    

1 : Tanah Tebu

      Kebon Dalem.

      Itulah kampung kelahiranku.

      Sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah, atau sebut saja gubuk, yang letaknya saling berjauhan. Jika berjalan seratus atau dua ratus langkah ke arah timur, Sungai Kanal segera terlihat. Disepanjang sungai itu banyak pepohonan yang besar-besar, seperti trembesi, angsana, jawi, dan jati. Di sebelah barat dan selatan hanya ada tebu. Ya, ladang-ladang tebu terhampar sejauh mata memandang. Ada juga beberapa petak sawah yang ditanami padi atau jagung, tetapi tak seberapa dibanding tebu-tebu yang tingginya kini sudah nyaris dua setengah meter.

      Di sanalah, di ladang-ladang tebu itu, aku mengais rezeki.

      Seperti kampung lain di Magetan, Tuhan memberkati Kebon Dalem dengan tanah yang gembur dan subur. Padi dan Palawija tumbuh dengan baik. Pisang, ketela, atau umbi-umbian berbuah dengan baik. Tapi, warga Kebon Dalem miskin. Tidak ada penduduk asli kampung ini yang kaya. Bahkan, sekedar setengah kaya pun tak ada. Tanah yang gembur dan subur itu bukan milik mereka. Ladang-ladang itu sebagian milik “tuan tanah”—orang-orang pendatang berduit yang punya tanah berhektar-hektar—dan sebaguan lainnya milik negara. Orang-orang menyebut tanah milik negara itu dengan tanah perkebunan.

      Di depan rumahku, tepat diseberang jalan, hanya dipisahkan oleh sebuah parit kecil, tinggal seorang mandor perkebunan tebu yang disegani. Mandor Kai namanya. Dia bukan penduduk asli Kebon Dalem, namun seperti orang lain di kampung ini, dia rajin bangun pagi. Tapi, bukan untuk menggarap sawah atau nguli, melainkan mengawasi ladang-ladang milik perkebunan. Aku lebih sering bertemu dengannya di ladang tebu, terutama ketika sedang menyabit rumput atau nguli nyeset—membuang daun tebu yang sudah menguning, biasanya di bagian daun paling bawah. Jika kami kedapatan mengusik tebu-tebunya, dia akan sangat marah.

      Sekitar lima puluh meter di sebelah langgar, rumah Hoseok—teman sepermainanku—dikelilingi kebun yang penuh pohon-pohon, seperti mangga, kelapa, dan angsana. Rumah itu kabarnya akan diperbaiki, hal ini terlihat dari setumpuk batu bata di halaman depan dan beberapa lembar papan yang ditumpuk rapu. Kata Hoseok, sewaktu ibunya jatuh sakit, bapaknya terpaksa menjual sebidang tanah di samping rumahnya demi menebus biaya rumah sakit dan sisanya digunakan untuk memperbaiki rumah. Begitulah, orang-orang di kampung kami sering menjual apa saja yang mereka miliki demi bertahan hidup.

      Satu rumah di dekat langgar, tak seberapa jauh dari rumahku, masih terhitung keluarga. Dua rumah lagi di sebelah utara, terletak agak jauh dari rumahku.

      Tak ada yang istimewa dari rumah-rumah itu, kecuali rumah Mandor Kai yang luas, berlantai semen, temboknya bercat biru langit, gentengnya merah mengkilap, dan punya beberapa perabotan seperti meja, kursi, lemari berukir, dan radio transistor.

      Nyaris seluruh lelaki dewasa di Kebon Dalem bekerja sebagai buruh. Ada yang menggarap tanah bengkok milik aparat desa, ada yang jadi buruh harian di perkebunan tebu. Ada juga yang jadi kuli nyeset di ladang tebu. Ibu-ibu juga aktif membantu suami-suami mereka dengan membatik. Meski upah hanya diterima sekali setiap dua bulan, lumayan untuk mempertahankan kebulan asap di dapur. Anak-anaknya pun tak kalah gia. Ada yang menggembala domba, sapi, atau kerbau. Ada yang nguli ngangkut di Pasar Takeran. Ada yang menyambi sebagai kuli harian diladang tebu.

      Meski warga Kebon Dalem miskin, anak-anak—atau remaja seusiaku—semuanya sekolah. Bagi penduduk Kebon Dalem, kemiskinan bukan halangan untuk menuntut ilmu.

Desember 1962. Baru saja kuterima ijazah Sekolah Rakyat. ini adalah hari terakhir aku belajar di SR Bukur, Madiun. Setelah menerima ijazah, aku harus segera mendaftar di sekolah lanjutan pertama, dan itu pertanda aku sudah remaja. Aku pun harus berjalan lebih jauh untuk tiba disekolah, dan tentunya harus tiba di sekolah tepat waktu. Aku juga perlu punya baju baru, sepatu, bahkan—andai bisa—sepeda. Tapi aku tidak tahu apakah Ibu punya simpanan atau tidak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepatu TaehyungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang