BAB II : Temui Dori

28 3 0
                                    

Kafein.
Si tidak baik kata ibu namun kesukaanku dan ayah.
Walau jurnal yang kubaca bertentangan dengan hobiku menggemari kafein, aku tetap menjalankannya.
Tak ada hal yang dapat mengangkatku tinggi-tinggi setelah jatuh, kurasa, selain kafein dalam segelas kopi.
Siapa pula temanku menikmati dingin malam-malam kota Yogyakarta? Kafein dalam segelas kopi itu lah.
Siapa pula temanku merayakan pergi datangnya orang-orang di pelabuhan berisi detak ini? Kafein dalam segelas kopi itu lah.
Siapa pula temanku membau petrikor yang menyeruak setelah angkasa menangis? Kafein dalam segelas kopi itu lah.
Sebab, aku tak punya banyak teman untuk diajak.
Banyak yang meminta kenal, sebentar; datang, pergi, lalu diulang.
Mereka pikir, aku ini terminal.
Sebabnya, aku bersyukur. Karena aku tak kunjung dibuatnya muak kepada proses mendewasa yang terhitung panjang.
Dibuatnya aku lebih kuat.

- - -
Tepat setelah hujan mengguyur kota Yogyakarta, menyisahkan jalanan yang basah dan genangan air di beberapa sisian jalan, aroma petrikor menyeruak.
Tak terlalu suka, tetapi kadang kusenangi juga.
Petrikor seolah harapan bagi bunga-bunga yang terlanjur putus asa tak punya waktu mekar. Seperti dia yang datang setelah putus asa tak akan punya kesempatan jumpa.
Dori, si kafein abu-abu.
Sengaja kunamai dia dori karena untuk mendapatkan kesempatan temu seperti ini, aku harus mencarinya. Seperti Nemo dan ayahnya yang melalui kelana panjang mencari Dori.
Sepihak, sebab kutahu dia tak mungkin mencari.
"Kapucino," kataku setelah ditanya mau minum apa.
Di seberang sana, kapucino ku sedang menghirup aroma kopi, lalu menyeruput kafeinnya bersahaja.
Kali ini tak bersama si lembut abu-abu. Hanya dibalut kaos lengan pendek warna putih bertuliskan 'wrangler'.
Sebelum nanti semesta merencanakan patah hati, aku ingin berterimakasih dulu, sebab ada kesempatan macam ini diberikan kepadaku.
Kesempatan temu satu arah sampai kesempatan kembali bertemu tatap dengannya.
Kali ini, aku yakin tatapan itu untukku, sebab hanya kami berdua di kafe sore ini.
Diam.
Hening.
Aku tahu gulir detik tak diperlambat meski aku merasa detakku seolah diperlambat.
Manik cokelatnya menatap lurus ke arah manikku.
Anggap kupenuhi sudah janjiku kepada semesta tempo hari, telah kutatap matanya lama-lama.
Tetapi, baik aku, pun dia, tak ada yang mau menyudahi tatap. Seolah berdua ini tahu ada sesuatu yang akan didapat setelah bertatap dalam hening, hanya diiringi benturan hujan dengan bumi.
Aku menoleh, akhirnya. Menatap jendela yang dipenuhi bulir hujan yang menderas lagi entah kenapa.
Pertanda bahwa cerita kami akan memburuk bila temu dilanjutkan?
Aku menghela, sebelum dikagetkan dengan sosok Dori yang kini duduk tepat di hadapanku.
Mimpi apa aku semalam?
Tak ada yang bicara. Aku tak senang dia ada di depanku sekarang sebab jantungku tak berdetak seperti biasanya, dan tak baik rasanya bergabung satu meja dengan orang asing sepertiku.
"Sendirian?" Ia bertanya, membuka suara di tengah deras hujan.
Aku mengangguki, menjawab dengan sederhana.
"Berteduh ya mbak?"
"Iya," kujawab.
Dia manggut-manggut.
"Kenalan, boleh?" Ia julurkan tangan.
Kubalas pelan-pelan, ragu-ragu.
"Galang Wicaksono, Galang saja."
"Wanda," jawabku.
"Lengkapnya?"
"Nirwanda Purwaningrum," kujawab.
"Kupanggil Wanda?"
"Iya,"
"Baiklah. Mbak Wanda ini kuliah?"
Aku mengangguk, "iya."
"Kuliah di mana?"
Kusebut nama kampusku.
Lengkung senyum yang dia perlihatkan membuatku terpana.
"Aku kuliah di sana juga, kebetulan, ya?"
Aku hanya mengangguk.
Jauh-jauh kucari dia, ternyata dia berada di peredaranku.
Dunia memang sungguh sempit.
"Jurusan?" Ia menanyaiku, membangunkanku dari lamunan.
"Kedokteran," kujawab.
"Aku jurusan Manajemen."
Sungguh sempurna.
"Asli Jogja?"
Aku menggeleng.
"Rantau?"
"Bisa dibilang,"
Dia manggut-manggut.
"Yasudah nanti kita tegur-teguran saja lah kalau ketemu lain kali. Jangan terbiasa ngeliatin orang, teman harus dibanyakin, Wanda," ia berpesan.
Kusetujui di ujung senja.
——

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ceritra : aksara menjelang pagi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang