3. Nona Tan

5.4K 358 2
                                    

Namanya memang Faiha Laurenindya Tan, tapi ia biasa dipanggil Fay bukan Tan apalagi Nona Tan. Memang sih itu nama marga keluarganya, tetapi tetap saja Fay tak terbiasa. Protesnya pun hanya bisa ditelan saja karena pak dosen yang kejam itu, apalah Fay yang hanya mahasiswa biasa dibanding si pak dosen yang berkuasa.

Selain kejam pak dosen yang itu begitu sadis dan tak berperasaan, bermulut bedas dan bermata sinis. Selalu saja mengomentari Fay dan mengatainya. Padahal tuh ya Fay gak pernah merasa mengusik si pak dosen tersebut yang gak perlu disebutkan namanya. Selalu aja cariin Fay kerjaan yang gak masuk akal, sering banget buat Fay mati kesal.

Yang paling sering dikomentari itu warna pakaiannya, memangnya itu urusan pak dosen? Kan suka suka Fay mau pake baju warna apa. Selama hidup belum pernah ada yang berkomentar tentang gaya pakaiannya, malah teman-temannya selalu memuji dan mengatakan Fay selalu terlihat cocok dengan warna apa saja tidak seperti mereka yang terlihat gendut dengan warna ini atau terlihat aneh dengan warna itu.

Lagipula itu kan hak Fay ingin suka dengan warna apa, tidak juga harus menyukai warna hitam dan putih seperti pak dosen itu. Maaf maaf saja jika si pak dosen jadi dipandang buruk oleh kalian, karena menurut Fay pak dosen ini kebanyakan minusnya dari pada plusnya.

Saat pertama kali masuk kampus, Fay langsung tahu pada dosen muda itu karena dia terkenal. Fay hanya melihat dari kejauhan itu pun diberi tahu teman-temannya, atau hanya sekilas lewat itu saja. Meskipun wajahnya tak ada ekpresi, Fay mengakui bahwa dosen itu tampan. Apalagi setelah tahu si dosen memakai kacamata saat mengajar semakin terlihat keren.

Walaupun sisi wanita Fay mengagumi ketampanan dan kecerdasan pria itu yang sempat didengarnya, tetap saja rasa sebal dan kesal serta benci yang sedikit tersemat tak akan luntur karena kelakuan pria itu.

"Saya tidak menghukum kamu untuk melamun." Fay tersentak sebentar sebelum melirik pada pak dosen yang matanya menatap lurus pada laptop tetapi mata batinnya menerawang kemana-mana.

"Maaf pak," hanya itu yang bisa Fay ucapkan.

"Saya tidak butuh maaf kamu." Fay menghela nafasnya sangat pelan karena takut terdengar. Ia tak mau lagi memperdulikan si pak dosen dan kembali berlarut pada pekerjaannya, mengoreksi tugas mahasiswa lain yang penuh dengan angka -sesuatu yang tidak terlalu disukai Fay mahasiswa jurusan lain yang juga diajar oleh dosen itu.

Ceritanya bagaimana ia bisa berakhir diruangan pak dosen disertai tumpukkan yang harus ia koreksi adalah karena kelalaiannya yang memang pantas untuk tidak lagi ditoleransi. Fay memang ceroboh ia akui hal itu, tetapi biasanya tak akan terulang seperti kali ini. Sebab dari semua hal ini karena keterlambatannya masuk kelas setiap harinya.

Bagi seorang pelajar keterlambatan pasti pernah dilakukan begitupun dengan Fay. Tapi entah mengapa Fay selalu terlambat masuk kelas pak dosen yang tak perlu disebutkan namanya itu. Selalu dan selalu masuk terlmbat, dan hal itu terjadi juga satu minggu yang lalu.

Dengan perasaan tak karuan Fay mengetuk pintu kelasnya yang sudah tertutup, ia terlambat sembilan menit dan saat ini detik menuju sepuluh menit tengah berlalu. Pintu terbuka dan menampakkan pak dosen 'itu' yang memang punya jadwal mengisi kelasnya pagi ini. "Maaf pak saya terlambat."

Si pak dosen melihat jam tangannya sebentar, "Masuk. Masih ada tiga puluh detik lagi. Sepulang ini ke ruangan saya."

That it's, setelah berkata demikian pak dosen kembali ke mejanya dan tanpa disuruh Fay segera menutup pintu lalu duduk dikursi yang kosong.

Tanpa diingatkan dua kali Fay langsung menuju ruangan pak dosen tersebut setelah kelasnya usai. Beruntung hari ini Fay tidak punya jadwal kelas lainnya hingga tak perlu mengganggu.

Fay kembali mengetuk pintu dan terdengar sahutan dari dalam. Fay berdiri tepat di depan meja si pak dosen, melihat mata pria itu yang menyuruhnya duduk akhirnya Fay mendaratkan tubuhnya dikursi yang tersedia dihadapan si pak dosen tersebut.

"Siapa namamu?"

Dengan gugup Fay menjawab, "Faiha Laurenindya Tan, pak."

Pria itu tampak menganggukkan kepalanya. "Nona Tan, kamu tahu apa kesalahanmu?"

"Saya tahu saya telah membuat kesalahan dengan selalu datang terlambat dikelas bapak. Saya minta maaf." Keraguan sejenak menghampiri Fay saat ingin melanjutkan perkataannya, "Panggil saya Faiha saja pak, jangan Nona Tan."

"Saya tidak butuh maaf kamu. Nilai kamu akan saya kurangi." Fay membelalakan matanya tak percaya saat melihat betapa acuhnya wajah pria didepannya ini tentang nilainya.

"Eh eh jangan gitu dong pak, meski saya terlambat saya kan tidak pernah bolos dikelas bapak. Saya selalu hadir, mengurangi nilai saya itu tidak adil pak." Meski merutuki mulutnya yang lancang bicara, tetapi Fay tidak bisa menahan semua ini. Mata pelajaran yang satu ini adalah andalannya, jika nilainya harus di kurangi Fay tidak yakin bisa mempertahankan beasiswanya. "Pak, tolong beri saya keringanan."

Persetan deh mempan atau enggak, yang pasti Fay harus bisa membujuk si pak dosen. "Keringanan seperti apa menurut kamu?"

Fay menelan ludahnya kasar, ia tak berpikir sejauh itu. "Saya bisa buat karya tulis atau makalah, kalau perlu saya juga bisa bantu pekerjaan bapak untuk mengoreksi tugas."

Wajah itu masih datar dan berhasil membuat jantung Fay ketar-ketir. Masalahnya diwajah itu tak ada tatapan penuh pertimbangan atau lainnya sehingga Fay bisa memprediksi apakah usulannya disetujui atau nilainya tetap dikurangi tanpa bisa dicegah. "Yang ketiga terdengar bagus."

Hanya itu lalu dagu pria itu menunjuk ke arah loker panjang yang ada sudut ruangan. "Nomor satu sampai sepuluh. Tolong dikoreksi."

"Se-sekarang pak?" Tanya Fay tak percaya.

Si pak dosen malah menggedikkan bahunya dan kembali menatap laptop. "Lebih cepat lebih baik."

Menghela nafas pelan, tak ada lagi yang bisa dilakukan seorang Fay selain menuruti karena dosen selalu benar!

Lalu saat pertama kali membuka loker yang bernomor satu itu, Fay hanya bisa menghela nafas. Tumpukan kertas dengan deretan angka disana menyambut Fay. Fay tidak bisa menolak atau mengelak demi nilainya dan juga kelangsungan beasiswanya, Fay sudah merasa beruntung kakak laki-lakinya yang sudah menikah mau menampungnya untuk tinggal dan memberinya makan. Ia tak ingin membebankan kakak satu-satunya itu setelah orangtua mereka tak ada, kakaknya sudah punya tanggungjawab yang lain yang lebih berhak dari pada Fay.

Setidaknya dengan usaha sendiri Fay tak akan menyusahkan kakaknya dan kakak iparnya walau itu untuk uang saku ataupun biaya kuliahnya.

Vote and Comment guys!!!
TriyandaHaling💟

Miss WantonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang