«|PROLOG|»

14 1 0
                                    

Malam ini, sama seperti malam-malam sebelumnya. Aku berkutat dengan laptop, ditemani secangkir susu hangat dan sepotong donat, yang masih layak untuk dimakan. Menautkan jari jemariku untuk melakukan rutinitas. Kata demi kata ku rangkai, sehingga tercipta paragraf.

Hening. Bahkan semut saja enggan untuk bersuara. Hanya ada aku, udara, dan suara ketikan dari keyboard laptop. Ku teguk susu putih di cangkir favorit ku itu, yang sekiranya masih hangat, lalu ku cium aromanya. Masih sama. Menenangkan bagiku. Setidaknya dengan meneguknya, beban pikiranku berkurang, walau hanya sedikit. Setidaknya dengan menghabiskannya, rasa penat di kepalaku bisa berkurang. Setidaknya.

Ku lirik jam di layar ponselku. Sudah larut, ternyata. Aku beranjak dari meja belajar ku itu, menuju sebuah kamar yang sebetulnya enggan aku datangi. Sekedar memastikan, Si pemilik kamar sudah tertidur. Sekedar melihat wajah tidurnya yang teduh menyejukkan itu. Sekedar bermonolog pada Tuhan, agar Dia bisa sembuh. Atau hanya sekedar menangis, meratapi garis hidup yang Tuhan beri untukku.

Tubuh itu, masih sama seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Si pemilik kamar sudah tertidur disana. Firasatku berkata, aku harus kesana dan bermonolog seperti biasanya. Namun, hatiku tidak demikian. Kali ini, aku memilih kata hatiku. Agar bisa memberi ruang tersendiri untuk Dia disana, yang sudah terlelap.

Aku kembali menuju kamarku. Menutup pintu, lalu duduk di sisi kanan tempat tidur. Menerawang ke atas langit-langit, melihat sekiranya ada cicak atau apapun, sekaligus menahan isak tangis yang sedari tadi meronta keluar. Aku kalah. Bulir air mata jatuh tanpa permisi dahulu. Seakan tidak perlu izin, mereka terus berjatuhan membuat hatiku perih.

Luka lama itulah kembali lagi, mengaga seperti biasanya. Mata ku terus saja mengeluarkan air hujan, seakan tak tau aturan, mereka terus berjatuhan. Tak jarang, mereka membandel jatuh ke hijab hijau ku. Ku tutup mulutku, agar tak mengeluarkan isak tangis yang bisa membangunkan orang rumah.

Layaknya anak kecil, aku butuh pelukan hangat. Seperti anak kecil, aku butuh sandaran untuk bercerita. Layaknya anak kecil, aku ingin tertawa lepas. Dan seperti anak kecil, aku ingin kehidupan normal. Tuhan, apa boleh kuminta sekali lagi. Tolong cabut nyawaku dan lahirkan aku dengan kehidupan yang normal. Aku tidak sanggup seperti ini setiap hari, Tuhan. Kumohon, aku sudah tidak sanggup lagi.

Jingga terakhir di bulan Oktober,
—Alula—

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang