«|Pangeran Biru dan Putri Jingganya|»

15 1 0
                                    

Aqueenalula, namanya. Gadis cantik yang baru menginjak umur 16 tahun itu, sibuk menata buku-buku pelajarannya. Memasukkannya secara rapih ke dalam tas ransel jingganya, kemudian menyambar secarik kertas yang ada diatas nakas, lalu mulai menuruni anak tangga.

Aqueenalula Fahira Sheinafia, nama lengkapnya. Terserah, kalian ingin memanggilnya apa. Panggil saja dia, Alula. Atau, Jingga. Dengan selembar kertas di tangan kanannya, Alula mulai mengambil langkah awal untuk membuat sarapan pagi. Ia taruh secarik kertas tadi, di atas meja makan yang sederhana tapi tidak meninggalkan kesan mewahnya. Dengan lincah, ia mulai membuat roti dengan selai coklat dan juga susu putih hangat. Dua roti coklat, satu susu putih hangat, dan satu susu coklat dingin, sudah tersusun rapih di meja makan.

Alula mengetuk pintu kamar dengan nuansa biru laut itu, lalu masuk kedalamnya seakan sudah dipersilahkan. Menyibak gorden panjang, seakan mentari menerobos masuk tanpa permisi. Dan tentunya, membuat si pemilik kamar harus terbangun karena silaunya.

“Hhhh... “

Dengan giat, Alula menyiapkan segala kebutuhan sekolah adiknya itu. Mulai dari sepatu, sampai seragam hari ini dia siapkan. Baginya, ini sudah menjadi rutinitas sehari-hari karena memang sudah seharusnya ia berperan sebagai Kakak.

“Ayo, bangun, Lyn. Lihat, mentari sudah meneriaki mu untuk bagun dan pergi sekolah.”

Selalu saja begitu.

Kata-kata yang sama, setiap harinya, diulang oleh Alula hanya untuk menarik perhatian adiknya, Aerilyn. Aerilyn terbangun, dengan mata bulatnya, ia menguceknya sesekali. Berharap dengan begitu, rasa kantuk anak perempuan yang berusia 7 tahun itu segera hilang. Lalu ia bisa langsung menyantap susu coklat dingin kesukaannya.

“Kak Lula, Lyn masih ngantuk...”

“Ayo, cepat mandi dan sarapan, Lyn. Kamu tau kan, susu coklat kesukaan mu itu, tidak betah lama-lama menunggu. Ayo, sini kita mandi.”

“Kak Lula, tidak pergi ke sekolah?” Aerilyn menggaruk rambut panjangnya yang serasa gatal itu.

“Tidak hari ini, sayang. Hari ini, kakak dapat libur dari sekolah."

Tanpa melihat wajah lucu sang adik, Alula tetap fokus memandikan Aerilyn. Dengan hati-hati, ia menyabuni tubuh Aerilyn yang kecil itu.

“Kak Lula enak. Sekolahnya bisa libur. Lyn, juga pengen. Biar bisa nonton Princess seharian di kamar, sama Mama...” katanya penuh harap.

Alula hanya tersenyum menanggapinya. Setelah selesai menggosok gigi, handuk kecil dengan corak Princess Muslimah itu dipakaikan ke tubuh sang adik. Aerilyn menggigil. Dinginnya air pagi ini, setidaknya mampu mengusir rasa kantuknya.

“Yuk, sarapan. Kasihan menu sarapanmu, mereka sudah tidak sabar disantap oleh Tuan Putri.” Canda Alula.

“Ayo!”

Setelahnya, mereka berdua pergi sarapan. Rutinitas biasanya. Selalu seperti ini. Alula memperhatikan wajah Aerilyn yang ternyata semakin hari, semakin mirip dengan Sang Ayah. Suara ketukan pintu terdengar. Alula terpaksa membukanya, karena Aerilyn sibuk menghitung tiap adukan sendok di gelas susu coklatnya. Seperti biasanya.

“Tumben, Bi, pagi sekali. Padahal, Alula pikir, Bibi tidak akan datang karena Lula libur,”

“Enggak, Kak. Bibi kan harus tetap masak makanan buat kalian.”

Perempuan paruh baya itu, yang Alula anggap seperti ibu keduanya, berjalan masuk kedalam sembari membawa tas belanjaan yang berisi sayur-mayur dan bahan pangan lainnya. Bi Shalihah, memang selalu datang pagi. Bahkan tak jarang, pagi-pagi buta. Karena beliau adalah asisten rumah tangga Alula, yang setia selama 4 tahun terakhir, membantu segala keperluan Alula dan Aerilyn. Seharusnya Mama mereka yang melakukannya.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang