side b: willem

244 24 11
                                    

Jika ia boleh jujur, sebenarnya, ini adalah hari termemalukan yang pernah dilaluinya.


Begitu Willem menerima deretan panjang pesan yang Kirana kirimkan, hal pertama yang dilakukannya adalah merasa bingung. Ya. Sulit dipercaya, seseorang sepatetik dirinya merasa bingung. Pertama, untuk intonasi pesan yang hampir tidak bisa dikenali sebagai seorang Kirana dan kedua, untuk tidak mengetahui bagaimana cara membalas—atau lebih tepatnya ikut mengungkapkan kebahagiaan melalui ucapan selamat dan atau sejenisnya. Mungkin akan lebih mudah jika yang ia hadapi hanyalah kenalan teman sekelas yang tak terlalu dekat; ia bisa saja dengan cueknya mengatakan perihal selamat lalu dengan tak acuhnya melenggang pergi di tengah euforia. Tapi, jika yang dihadapi adalah Kirana—seorang teman dekat yang diam-diam menjadi spesial untuk dirinya, entah sejak kapan—apa yang harus dilakukannya?


Tak butuh waktu lama bagi si pemuda untuk mendapatkan jawabannya, sebab secara tak sengaja,  pandangannya bertumpu pada sebendel kumpulan puisi dan kisah roman yang diam-diam dikumpulkannya. Mengikuti amanat dari salah satu cerita yang secara kebetulan nyambung dengan kisah kehidupan nyatanya, ia segera mendapatkan ide untuk mengajaknya jalan. Atau makan. (oh, jangan harap ia yang akan membayarnya). Juga membelikannya sebuket bunga sebagai tanda selamat. (Tulip? Semoga Kirana tidak mengejeknya lagi karena jujur saja, ia tak merasa familiar dengan bunga-bunga lainnya kecuali dengan yang sudah terlalu familiar di negerinya sendiri). Lalu muncul secara tiba-tiba di halaman depan rumah orang tua asuh tempat Kirana tinggal baru kemudian membalas pesan yang tadi hanya sengaja ia baca dan abaikan. (Dalam hati Willem penasaran bagaimana reaksi perempuan itu bila ia melakukan hal-hal yang dipandangnya, erm, romantis?)


Lalu sampailah ia di sini. Setelah sukses dengan skenarionya untuk beberapa poin, yang harus Willem lakukan tinggal memberikan hadiah absolut yang sengaja disembunyikannya di sisi samping motor—apalagi kalau bukan bunga-bunga itu—dan juga memberinya ucapan selamat yang pantas. Namun ternyata, tanpa ia duga, butuh lebih banyak keberanian bagi seorang Willem hanya untuk melakukan sisanya.


Punggung kecil itu telah berbalik, melangkah masuk rumah kembali untuk sekadar bersiap saat Willem merasakan panik di dalam dirinya (yang ditahannya mati-matian, tentu saja). Sekarang atau tidak sama sekali, batin Willem. Ia jelas tak ingin membuang kesempatan sekali seumur hidup untuk paling tidak, menunjukkan sedikit afeksi. Hanya sedikit, perlu dicatat.


"Kirana." Panggilnya tertahan. Duh, ia bahkan hampir tidak mengenali suaranya sendiri.


Willem mengeluarkan buket itu dari tas plastik yang sialnya, tersangkut di gantungan motor. Ia mengumpat lirih, namun tangan itu dengan sigap melepaskan tali pengikat yang tersangkut dan ketika berhasil, ia secara tiba-tiba melemparkannya langsung ke arah Kirana yang menoleh heran ke arahnya. Tanpa mengindahkan keterkejutan Kirana, ia berpaling seketika itu juga, mengucapkannya tanpa basa-basi dan melupakan kata-kata indah yang baru dipelajarinya dari buku.


"Selamat."


Oh, rasanya ia ingin sekali meninju dirinya sendiri yang sudah dengan gagalnya melakukan rencana kerennya sendiri. Ada apa dengan perasaan gugup yang tiba-tiba mengacaukan pikirannya? 


Masih mempertahankan ekspresi stoik andalannya, ia mencuri pandang diam-diam ke arah Kirana. Dilihatnya gadis itu masih mematung tidak percaya menyaksikan banyak kejadian luar biasa yang Willem ciptakan dengan serangkaian tulip di genggaman.


Gagal, sudah pasti. Ia memang bukan tipe romantis dari awalnya. Pengorbanan harga diri yang dulu mati-matian diusungnya sepertinya tidak membuahkan hasil. Juga dirinya yang hampir out-of-character seperti ini. Ah, sungguh memalukan.


Baiklah. Setidaknya kau sukses membuat anak orang bengong seharian, bodoh.


Dan ketika ia berpikir untuk mengakhiri hidupnya saat itu juga, Willem mendapatkan sebuah pencerahan yang bahkan jauh lebih terik dari panasnya siang itu.


"Terima kasih, Will."


Satu kalimat sederhana meluncur begitu saja. Tak kurang, namun lebih mengejutkan daripada kejutan yang dibuatnya hari itu. Willem menoleh ke sumber suara. Didapatinya Kirana masih berdiri di sana. Namun yang membuatnya lain adalah ekspresi itu; ekspresi yang baru kali ini ia lihat seumur hidupnya pada diri seorang Kirana. Sebuah senyum tulus—bukan senyum ejekan ataupun senyum sindiran seperti biasanya—yang benar-benar mengungkapkan perasaan berterimakasih, bukan hanya sekadar formalitas. Dan senyum itu khusus diberikannya pada dirinya. 


Ya. Demi kincir angin, khusus untuk dirinya.
Butuh beberapa waktu untuk Willem menyadari bahwa kini giliran dirinya yang mematung bengong di tempat. Sementara dengan kekehan kecilnya, Kirana berbalik masuk menuju rumahnya, melanjutkan niatnya bersiap-siap pergi. Langkah kakinya sedikit melompat-lompat dengan sebelah tangan terayun. Tunggu, apakah ia sebahagia itu?
Masih tak percaya dengan apa yang dialaminya, Willem kembali tersungkur lemas di atas kendaraannya. Atas alasan yang ia tahu benar apa itu, ia bisa merasakan jantungnya berdetak tak santai.


"Sial," gumamnya, sebelah tangan menutupi semburat merah tipis di wajahnya. "Kau bisa semanis ini, rupanya."

---

a/n: kenapa di headcanon saya APH Netherland itu kayak, erm, tipe serius tapi agak-agak tsundere gitu ya? XD
Btw, terima kasih sudah menyempatkan mampir ke cerita ini. Kritik dan saran saya apresiasi sepenuhnya

uh.. balas, dong!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang