Aku tidak suka kopi, tetapi aku suka melihatnya meminum cairan hitam pekat itu di sore hari. Kami akan duduk bersama, dengan teh sebagai teman favoritku. Tidak pernah ada gula di antara cangkir minuman kami. Awalnya aku tidak terbiasa, tetapi aku tidak suka menikmati rasa manis saat dia merasakan sebaliknya. Karenanya, aku membiasakan diri dengan rasa pahit.
Dia, laki-laki yang kucintai.
Perjumpaan pertama kami adalah bertahun-tahun lalu. Saat itu kami masih sama-sama belia. Dia yang pertama menyapaku. Aku sangat pemalu kala itu, tetapi dia selalu menjadi pribadi yang menyenangkan sejak dulu. Dia tidak pernah menyerah dalam usahanya mendekatiku. Berkat usahanya, kami kemudian menjadi teman baik.Ya, teman baik.
Aku selalu bersyukur atas pertemanan kami. Akan tetapi, jenis pertemanan yang kami jalani adalah jenis pertemanan yang memiliki risiko tinggi. Jenis risiko yang pada akhirnya tidak dapat kuhindari. Aku mulai membawa serta hati ke dalam pertemanan kami.
Aku jatuh cinta.
Aku tidak tahu pasti kenapa aku jatuh untuknya. Yang aku tahu, kami memiliki banyak persamaan. Salah satu yang paling sederhana, kami sama-sama mencintai seseorang yang menyimpan nama orang lain dihatinya. Kami sama-sama jatuh cinta. Bedanya, aku jatuh untuknya, sedang dia jatuh untuk perempuan lain di luar sana.
Aku tak mengenal perempuan beruntung itu. Dia tidak pernah mau memberitahuku. Pernah sekali aku merayunya. Kubujuk dia dengan secangkir kopi istimewa, karya tanganku. Kubilang, "Mungkin aku bisa membantumu mendapatkannya. Kami para perempuan saling mengerti."
Itu kebohongan terbesarku padanya.
Saat itu dia tidak langsung memberiku jawaban. Baru setelah dua teguk kopi pahit menyentuh lidahnya, ia tersenyum dan mengatakan, "Tidak perlu. Aku akan mendapatkannya dengan usahaku sendiri."Aku kecewa. Satu hal yang kupahami dari jawabannya; dia tidak mempercayaiku lagi.
Aku tidak bicara padanya lagi sampai kopi di cangkirnya mengering. Dia menatapku cukup lama dan tiba-tiba tertawa. Entah untuk alasan lucu apa, sampai sekarang aku masih tidak mengetahuinya.
Saat itu aku bertanya, "Ada apa?"
Ia tidak memberiku jawaban. Hanya menggeleng pelan."Aku janji, kamu orang pertama yang akan kukenalkan padanya kalau aku berhasil menakhlukan hati perempuan itu," katanya tak berselang lama.
Saat itu, harapanku hanya satu; semoga aku tidak akan pernah mengenal perempuan itu.
Mengenalnya akan menjadi mimpi buruk dari yang terburuk. Bahkan sebelum aku mengenal perempuan itu, perempuan itu sudah sering membuatku merasa semakin dekat dengan neraka. Sejak perempuan itu muncul dalam hidup laki-laki yang kucintai, perempuan itu telah banyak menimbulkan celah dalam pertemanan kami.
Hari dimana aku pertama kali mendengar tentang perempuan itu adalah hari yang paling kubenci. Hari itu aku menunggu laki-laki yang kucintai sampai cangkir tehku diisi untuk yang ketiga kali. Akan tetapi, dia tetap tidak menampakkan diri. Dia bahkan tidak menjawab panggilan teleponku.
Itu kali pertama dia tidak menepati janji di antara kami. Aku marah. Saat itu aku berjanji untuk tidak memaafkannya dengan mudah.
Keesokan paginya dia menelponku, meminta maaf dengan gaya humorisnya yang selalu kubenci di saat-saat seperti ini. Harusnya aku mengingat janjiku. Harusnya aku tidak menjadi lemah untuknya. Akan tetapi, aku tak pernah bisa melukai hatinya sebagaimana ia melukai milikku. Pada akhirnya, aku memaafkannya.Dia lalu menjemputku sebagai ganti dari sore yang kulewati seorang diri. Dia tidak berhenti tersenyum saat mengemudi, tampak begitu bahagia. Awalnya, aku pikir dia bahagia karena aku memaafkannya. Nyatanya, aku salah. Bukan aku alasan kebahagiannya. Bukan kehadiranku yang membuatnya tersenyum.
Itu adalah kali pertama dia membicarakan perempuan itu. Perempuan yang ditemuinya ketika ia hendak menemuiku. Perempuan yang membuatnya melupakan janji temunya denganku. Perempuan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Saat itu aku tertawa, menggodanya dengan kalimat-kalimat kelakar yang umum digunakan di antara sepasang teman. Aku menghiasi sore kami dengan tawa dan membiarkan hatiku basah oleh air mata.
Ah, aku benci perempuan itu.
Kami hampir tidak pernah membahas perempuan itu lagi setelahnya. Dia hanya membawa perempuan itu ke dalam pembicaraan kami sesekali dan aku sangat bersyukur akan hal itu. Perempuan itu adalah topik yang paling ingin kuhindari.
Meski begitu, ada sore di mana perbincangan kami mengenai perempuan itu membuatku merasa sangat bahagia. Saat itu, tidak seperti biasanya, aku bertemu dengan laki-laki yang kucintai secara tidak sengaja. Dia duduk sendiri dengan gelas yang tak menyisakan kopi sama sekali. Itu adalah kali pertama aku melihatnya dengan kondisi yang begitu menyedihkan. Kondisi pria-pria patah hati. Penyebabnya, perempuan itu.
"Perempuan itu memiliki kekasih," katanya kala itu. Dia seperti akan menangis saat mengatakannya, tetapi dia tidak melakukannya. Ego lelaki selalu satu tingkat lebih tinggi. Salah satu hal yang sangat kubenci.
Aku selalu merasa sedih atas segala kesedihannya, bahkan saat itu akupun merasa sedih untuknya. Akan tetapi, aku tak akan berbohong bahwa saat itu aku begitu bahagia atas kabar yang ia bawa. Aku bahagia karena perempuan itu memiliki laki-laki lain dihatinya.
"Mungkin kalian memang tidak ditakdirkan bersama. Ikhlaskan saja! Kamu akan bertemu perempuan yang lebih baik," hiburku padanya. Harapanku, dia akan menyerah, memilih untuk menghapus cintanya pada perempuan itu .
(Aku benar-benar merasa seperti tokoh antagonis saat itu.)
Sayangnya, laki-laki yang kucintai tidak pernah menyerah dengan begitu mudah. Kami sama-sama keras kepala. Karena itu, kami tetap bertahan meski tahu akan sangat sulit untuk mendapatkan orang yang kami cintai. Kami sama-sama memilih untuk berjuang seorang diri. Bedanya, aku tak pernah seberuntung dirinya.
Saat itu hujan turun. Bukan hujan lebat, hanya rintik-rintik ringan. Meski begitu, itu adalah kabar buruk bagi kami. Tak ada senja yang akan menemani sore kami. Akan tetapi, sore itu kabar baik datang pada laki-laki yang kucintai; perempuan yang dicintainya baru saja patah hati. Akupun patah hati. Dia begitu bahagia dan untuk pertama kalinya aku merasa berduka atas suka citanya.
Pada akhinya, puncak kisah kami terjadi pada suatu sore di bulan februari, kami sekali lagi membuat janji untuk menghabiskan waktu bersama menikmati senja. Mungkin, sore yang satu ini akan menjadi sedikit istimewa. Dia bilang akan ada kejutan untukku.
Aku datang lebih dulu, menunggunya di meja yang selalu kami tempati berdua. Dia yang pertama memilih meja ini saat kali pertama kami datang ke tempat ini. Meja yang menurutnya strategis untuk melihat matahari tenggelam di balik gedung-gedung tinggi di kota kelahiran kami. Lalu, pada pertemuan-pertemuan kami selanjutnya, entah bagaimana kami selalu duduk di meja yang sama.
Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Dia terlambat lagi. Untungnya, aku sudah terbiasa menunggunya.
Senja hampir menghilang saat dia datang. Dia tidak sendirian. Dia membawa serta kejutannya untukku. Tangan kirinya menggenggam tangan seorang perempuan dengan wajah oriental. Perempuan cantik itu tersenyum manis padaku.
Betapa kejutan yang sangat mengejutkan.
Sore itu, aku menambahkan dua sendok gula ke dalam cangkir tehku.
---
J. Fatmawati
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Rasa Pahit (Antologi Cerpen)
Short StorySebuah kisah panjang tentang cinta, tentang mereka yang berjuang untuk asa. Surabaya 08.11.18