Sepatu Kanan

155 9 0
                                    

Saat menceritakan kisah ini, aku sedang menikmati sebatang rokok di lantai lima belas hotel berbintang terbaik di kota ini. Sekarang pukul delapan pagi. Kurang dari dua jam lagi, di hotel tempatku berada saat ini akan dilangsungkan prosesi pernikahan. Hal yang juga menjadi alasanku berada disini, sepagi ini, menatap lalu lalang kendaraan di bawah sana yang tampak sangat kecil. Aku terpekur, menghela napas lelah. Ini pertama kalinya aku menghisap rokok tanpa merasakan apa-apa selain pahit yang begitu kentara

***

Aku bukan pencerita yang baik dan entah bagaimana harus kumulai, kisah yang tak pernah kuceritakan kepada siapapun. Kisah yang enam tahun lamanya kusimpan sendiri, berkerak dalam hati hingga perlahan-lahan menggerogoti.

Enam tahun yang lalu, tahun pertamaku menyandang gelar sebagai mahasiswa di kampus dengan fakultas psikologi terbaik di negeri ini-setidaknya dalam data yang terakhir kubaca, kampusku masih bertengger di urutan pertama mengalahkan ratusan kampus lain di seluruh pelosok negeri. Rasanya bangga bukan main.

Aku begitu bergaya ketika pertama kali melangkahkan kaki di kawasan kampus. Melihat mahasiswa-mahasiswa lain berlalu-lalang, sebagian sibuk duduk di taman bercengkrama dengan yang lainnya persis seperti apa yang kulihat di film-film. Mereka berjalan dengan buku di genggaman, tertawa, meskipun ada juga yang terlihat sibuk dengan laptopnya dan beberapa buku menyertai di meja.

Di saat seperti itu, tidak sulit membedakan antara mahasiswa baru dan mahasiswa lama. Aku dan mahasiswa baru lainnya mengenakan ‘pakaian kebesaran’ kami sendiri. Setelan hitam putih, lengkap dengan atribut yang telah disebutkan dalam e-mail selamat datang, sesaat setelah registrasi pendaftaran ulang.

Memasuki pelataran gedung yang telah ditentukan sebelumnya, aku disambut dengan suara nyaring sirine. Sangat keras. Lengkap dengan teriakan kakak-kakak senior  bertampang garang. Aku sempat melirik sekeliling tempatku berdiri, beberapa wajah panik berlarian menuju sumber suara. Aku mengikutinya.

Dan begitulah selanjutnya bagaimana hari-hari pertamaku berlangsung, tersiksa di bawah tekanan kakak-kakak garang atas nama pendisiplinan. Aku dan yang lain dibagi menjadi beberapa kelompok. Selama satu minggu, bersama orang-orang dalam kelompok itulah aku lebih banyak berinteraksi. Hal yang amat kusesali hingga detik ini.

Saat itu hari ketiga. Seperti pagi-pagi sebelumnya, kami dibariskan di lapangan besar. Setiap kelompok dibagi menjadi dua baris. Aku berada di barisan sebelah kiri. Setelah apel pagi, kakak-kakak yang bertugas langsung berkeliling mengitari kami, memeriksa kelengkapan atribut. Semuanya harus sesuai, rinci dengan ukuran dan motif yang ditentukan. Tentu saja ditambah dengan wajah garang dan beberapa teriakan pemanis yang membuat suasana senyap seketika.

Saat itu, aku melihat seseorang yang berdiri di sudut kananku tampak menoleh kebelakang dengan cemas. Keringat bercucuran di dahinya seperti habis berlari. Sedetik kemudian aku menyadari bahwa dia mengenakan sepatu dengan corak warna yang salah. Aku turut panik. Kurang dari dua baris kelompok dari sebelah kiriku, seorang kakak senior akan segera menghampiri kami. Aku melakukan perhitungan cepat, kami saling pandang untuk beberapa saat.

Aku mengeluh dalam hati. Astaga, ini pertaruhan hidup dan mati. Satu orang saja tertangkap melakukan kesalahan, maka seluruh anggota kelompok akan menanggung akibatnya. Aku tidak ingin malam ketigaku dihabiskan untuk menulis berlembar-lembar riwayat hidup tokoh psikologi!

Akhirnya, aku memutuskan melepas sepatu kananku dan memberikan kepadanya. Kami bertukar sepatu secepat mungkin, berusaha meminimalkan suara yang ada. Jika berjalan sesuai rencana, kami akan terselamatkan-walau sebenarnya tampak jelas sepatuku kebesaran di kakinya.

Namun meski begitu, aku tetap menghitung kemungkinan lainnya, Aku berada di sisi kiri, dan dia ada di sisi kanan. Sepatu kanan yang kuberikan padanya akan menyamarkan keadaan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sepasang Rasa Pahit (Antologi Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang